Anggota DPR RI Diah Pitaloka mengungkapkan persentase kekerasan seksual pada perempuan telah mencapai 90 persen. Hal ini yang menyebabkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) lebih identik kepada perempuan serta menimbulkan aksi afirmatif untuk memperjuangkan ruang politik bagi perempuan dalam memperjuangkan nasib serta martabatnya. 

Foto ilustrasi

 

“Ya tentu dengan semangat affirmative action yang memperjuangkan ruang politik bagi perempuan termasuk di lembaga legislatif ini dan kita merasa ini bagian dari dorongan moril kita untuk memperjuangkan nasib kaum perempuan termasuk di gedung DPR/MPR ini,” ucap Diah.

 

Diah mengatakan RUU TPKS ini merupakan hal yang tidak mudah. Ia menilai, RUU ini menantang paradigma mainstream yang menjadi mayoritas di dalam masyarakat yang mengakibatkan konteks hukum, sosiokultural, sosial budaya cenderung menakuti korban kekerasan seksual. 

 

Oleh karena itu salah satu agenda penting dalam RUU TPKS ini berbicara mengenai pencegahan yang di dalamnya berisikan pendidikan. “Karena begitu kuatnya pandangan sosial yang katanya patriarki, karena masih melihat perempuan memiliki tempat berbeda dengan laki-laki dan ini cukup kental di lingkup masyarakat,” terang Politisi Fraksi PDI-Perjuangan itu.

 

Dirinya menegaskan RUU ini tidak hanya sebagai gerakan normatif, tetapi terbaca dan terasa gerakan sosialnya di masyarakat dalam membongkar paradigma patriarki itu. “Jadi kita berharap kesadaran publik yang menjadi gerakan sosial itu bisa merubah paradigma hukum,” tandasnya.

 

Meski RUU TPKS masih terkendala sejumlah perdebatan antar-fraksi di DPR, Diah optimistis RUU ini bisa disahkan. Apalagi semangat anggota DPR periode ini terkait RUU TPKS terbilang lebih baik. “Kalau RUU ini gagal disahkan, bagaimana nasib korban-korban atau kasus-kasus kekerasan seksual. Kita harus merespons lewat produk hukum. Jangan sampai banyaknya kasus kekerasan seksual menjadi wajah peradaban Indonesia,” ujar Diah.

Ia berharap, RUU TPKS ini dalam kerangka serta kehidupan bernegara mampu untuk terus mengedepankan perubahan mengenai konstruksi pikir sosial budaya di masyarakat. “Kita kedepankan dalam melakukan perubahan yang hari ini masih melahirkan ketidakadilan terutama bagi sebagian besar  kaum perempuan, sesuai dari data yang kita terima,” tutupnya. (mld,rnm/es)