Juru Bicara Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Marves) Jodi Mahardi menegaskan rencana Menko Luhut Binsar Panjaitan mengaudit lembaga swadaya masyarakat merupakan upaya menjaga kedaulatan ekonomi bangsa. Menurutnya, praktik ini merupakan hal lumrah di tataran berorganisasi internasional dan bagian dari transparansi kepada masyarakat.

Luhut Binsar Panjaitan

“Di negara demokratis seperti Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa mensyaratkan adanya pengungkapan kepada publik secara berkala oleh LSM tentang hubungan mereka dengan prinsipal asing, yang berkaitan dengan kegiatan dan fungsi mereka sebagai saluran dana asing,” ungkapnya dalam keterangan tertulis, Rabu, 17 November 2021.

Juru Bicara Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Marves) Jodi Mahardi

Jodi menilai keterbukaan ini merupakan aspek penting, terutama bagi para LSM di Indonesia yang menerima aliran dana dari Lembaga asing. Menurutnya, kegiatan-kegiatan LSM tak melulu membawa kepentingan publik melainkan berpotensi memiliki muatan kepentingan pemberi dana yang tak jarang justru dapat mengganggu kepentingan dalam negeri. Karena itu, menurut Jodi, transparansi dana jadi satu hal yang krusial.

“Memang ada tuntutan agar LSM transparan dalam kegiatan operasionalnya, struktur organisasi, sampai penyokong dana LSM tersebut. Publik juga berhak memperoleh informasi mengenai sumber dan penggunaan dana LSM, apalagi jika dana yang diperoleh dari asing,” ujarnya.

Sebagai contoh, Parlemen Filipina saat ini misalnya tengah melakukan investigasi atas Bloomberg Philanthropies yang diduga mengucurkan dana hibah kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Filipina untuk mendanai program dalam rangka meloloskan regulasi anti tembakau. Parlemen Filipina kemudian memutuskan bahwa program tersebut bermasalah, lantaran melanggar sejumlah regulasi terkait intervensi asing. Sebabnya, intervensi ini merupakan ancaman terhadap kedaulatan negara lantaran dapat mempengaruhi wewenang pemerintah sebagai pembuat kebijakan publik.

Hal serupa, kata Jodi,seperti ditulis Tempo, juga hampir terjadi di Indonesia, saat Yayasan WWF Indonesia secara sepihak memperluas bidang kerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di luar yang disepakati.

Selain itu, KLHK menemukan adanya pelanggaran substansi kerja sama yang dilakukan oleh Yayasan WWF Indonesia misalnya dengan melakukan kampanye di media sosial, publikasi laporan yang tidak sesuai fakta di lapangan. Atas hal-hal tersebut KLHK akhirnya memutus perjanjian kerja sama pada Januari 2020.

Pernyataan Luhut mengenai rencana pemerintah mengaudit LSM itu muncul dalam sebuah tayangan di saluran televisi nasional ketika dimintai tanggapan mengenai bantahan dari sejumlah pegiat lingkungan ihwal data deforestasi yang menurut klaim pemerintah sudah menurun.

Merespons pernyataan tersebut, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia atau MAKI mengundang Luhut untuk mengaudit lembaganya. Lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang antikorupsi itu bahkan akan menggugat Luhut ke pengadilan bila tidak melakukan audit itu.

“MAKI akan berkirim surat resmi kepada LBP, jika MAKI tidak diaudit, maka kami akan gugat LBP (Luhut) ke Pengadilan Tata Usaha Negara karena tidak menerbitkan Surat Keputusan perintah audit kepada MAKI,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman, lewat keterangan tertulis, Sabtu, 13 November 2021.

Pakar hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berpendapat rencana audit NGO hampir serupa dengan keputusan pemerintah membubarkan HTI dan FPI. Sebab, rencana audit itu bisa berujung pada pembubaran lembaga nonpemerintah.

Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Asep Komarudin, menganggap rencana audit LSM oleh Luhut merupakan bentuk upaya represi pemerintah. "Bukan kami takut diaudit, tapi kami melihat ini sebagai upaya untuk menyempitkan ruang gerak kebebasan sipil," katanya.(****)