Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, menegaskan fasilitas kantor yang didapat karyawan, seperti laptop dan ponsel, tidak akan dikenakan pajak karena merupakan biaya bagi perusahaan.

Sri Mulyani Indrawati

Hal tersebut ia sampaikan menanggapi diberlakukannya pajak atas natura (pemberian barang atau kenikmatan dan bukan dalam bentuk uang) yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

“Kalau pekerja dapat fasilitas laptop, masa dipajakin? Kan tidak begitu. Pekerja dikasih fasilitas kendaraan atau uang makan, ya kan bukan itu. Tapi ini adalah yang merupakan fringe benefit yang memang untuk beberapa segmen kelompok profesi tertentu luar biasa besar,” kata Menkeu dalam Kick Off Sosialisasi UU HPP, Jumat (19/11/2021).

Menkeu menjelaskan tujuan pengenaan pajak natura untuk menciptakan keadilan bagi wajib pajak sehingga tidak semua karyawan yang mendapat fasilitas kantor akan dikenakan pajak atas natura. Penghasilan natura nantinya dikenakan untuk barang dan pihak tertentu.

“Jadi kita hanya akan memberikan suatu threshold tertentu. Kalau fasilitasnya, saya tidak tahu. Mungkin kita boleh tanya sama Ketua Kadin Pak Suryadi. Kalau CEO itu kan fringe benefit banyak banget, biasanya jumlahnya sangat besar,” ujar Menkeu.

Adapun terdapat beberapa natura yang bukan merupakan penghasilan bagi penerima, yaitu penyediaan makan atau minum bagi seluruh pegawai, natura di daerah tertentu, natura karena keharusan pekerjaan, seperti alat keselamatan kerja atau seragam, natura yang berasal dari APBN atau APBD, serta natura lain dengan jenis dan batasan tertentu.


Pada bagian lain, Menkeu juga menyampaikan Indonesia berkomitmen bersama dengan seluruh negara di dunia untuk menghadapi dampak perubahan iklim. Untuk mendukung komitmen tersebut, pemerintah memperkenalkan pajak karbon dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
 
“Bapak Presiden di dalam Pertemuan COP26 di Glasgow telah menyampaikan komitmen Indonesia untuk menjadi warga dunia yang turut menanggulangi climate change. Komitmen ini sudah dari presiden ke presiden karena dari Kyoto Protocol sampai dengan sekarang,” kata Menkeu, seperti dikutip dari laman Kemenkeu.go.id.
 
Pajak karbon akan dilakukan secara bertahap sesuai dengan roadmap dengan memperhatikan perkembangan pasar karbon, pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC), serta kesiapan sektor dan kondisi ekonomi.
 
Lebih lanjut, Menkeu mengatakan pemerintah membutuhkan instrumen di dalam melaksanakan komitmen tersebut melalui perdagangan karbon (carbon trading). Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK). Kebijakan tersebut mengatur penyelenggaraan perdagangan karbon, pungutan atas emisi karbon, pembayaran berbasis kinerja atas penurunan emisi karbon.
 
“Kita akan meng-introduce cap and trade yaitu sektor tertentu, seperti PLTU batubara, diberikan cap dulu. Bahwa Anda boleh mengeluarkan atau mengemisikan CO2 level tertentu. Ada cap-nya,” ujar Menkeu.
 
Di dalam skema cap and trade, entitas yang mengemisi lebih dari cap diharuskan membeli Sertifikat Izin Emisi (SIE) dari entitas yang mengemisi di bawah cap atau membeli Sertifikat Penurunan Emisi (SPE atau carbon offset).
 
“Kita sekarang dengan Bapak Menko, dengan BEI (Bursa Efek Indonesia), dengan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) sedang membahas bagaimana mekanisme carbon trade ini dilakukan. Bursanya adalah di Bursa Efek Indonesia karena nanti yang diperdagangkan adalah sertifikat izin dan sertifikat penurunan karbon,” kata Menkeu.
 
Menkeu menyebut tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan harga karbon di pasar karbon dengan minimal tarif Rp30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
 
“Kalau di pasaran dunia harganya itu sudah di atas 40 dolar AS, bahkan Kanada akan menaikkan mencapai di atas 125 dolar AS sampai 2030 nanti,” ujar Menkeu.
 
Di sisi lain, Indonesia perlu memperhatikan harga karbon di dunia yang relatif tidak seragam. Menkeu mengungkapkan Indonesia harus melindungi carbon market agar tidak dimanfaatkan oleh negara maju penghasil emisi karbon.
 
“Indonesia harus memenuhi kuota penurunan karbon sebelum kita bisa menjualnya. Apalagi kalau harganya memang murah, pasti dari luar negara yang harga karbonnya tinggi, dia mau beli karbonnya di Indonesia yang dianggap murah. Ini adalah salah satu yang nanti kita akan makin matangkan bersama-sama,” kata Menkeu.(fg)