Kementerian Tenaga Kerja (Kemnaker) telah melakukan perhitungan besaran Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022. Kenaikan UMP 2022 rata-rata hanya 1,09 persen.

"Rata-rata penyesuaian (kenaikan) UMP 2022 adalah 1,09 persen," ungkap Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Ditjen PHI JSK) Kemnaker, Indah Anggoro Putri, dalam seminar terbuka bertajuk Proses Penetapan Upah Minimum 2022 yang digelar secara daring, Senin (15/11).

Putri menegaskan, kenaikan 1,09 persen itu adalah angka rata-rata semua provinsi, bukan berarti setiap provinsi naik 1,09 persen. Adapun UMP akan ditentukan oleh gubernur tiap provinsi.

Para gubernur, kata Putri, sudah harus menetapkan UMP paling lambat pada 21 November 2021. Sedangkan penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) paling lambat adalah tanggal 30 November 2021.

"Upah Minimum yang ditetapkan oleh Gubernur pada 21 November dan 30 november adalah upah yang berlaku bagi pekerja yang bekerja kurang dari 12 bulan dan lajang," ungkap Putri.

Adapun pekerja yang sudah bekerja lebih dari 12 bulan, besaran upahnya ditetapkan berdasarkan struktur upah masing-masing perusahaan. Penetapannya merupakan hasil pembicaraan antara pihak perusahaan dan pekerja. Namun demikian, besaran upahnya tetap harus lebih besar dari UMP.

Putri menambahkan, perhitungan besaran UMP 2022 menggunakan formula yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. PP tersebut merupakan aturan turunan dari UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law).

Berdasarkan hasil perhitungan, UMP DKI Jakarta jadi yang tertinggi dengan besaran Rp 4.453.724, sedangkan UMP Jawa Tengah terendah.

"UMP Jawa Tengah terendah, yakni Rp 1.813.011," kata Putri.

Sementara itu, rata-rata upah buruh pada bulan Oktober secara nominal mengalami kenaikan. Meski demikian, kenaikan itu tidak mampu mengimbangi kebutuhan hidup para buruh sehingga secara riil upah mengalami penurunan.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Margo Yuwono, menyampaikan, upah buruh tani, misalnya mengalami kenaian secara nominal sebesar 0,08 persen menjadi Rp 57.009 per kg per hari. Namun, secara riil upah yang diterima itu turun 0,01 persen menjadi Rp 52.875 per hari.

Hal yang juga terjadi pada upah buruh bangunan. Margo mengatakan, terdapat kenaikan 0,07 persen dari nominal upah buruh bangunan menjadi Rp 91.290 per hari. Kendati demikian, besaran upah itu turun 0,05 persen menjadi Rp 85.587 per hari.

Penurunan upah secara riil biasanya disebabkan oleh laju inflasi bulanan yang naik lebih tinggi daripada peningkatan upah. Dengan kata lain, upah yang diterima para buruh tergerus angka inflasi dan tidak seimbang dengan harga-harga kebutuhan hidup.

“Kenapa turun? Karena kalau melihat indeks konsumsi rumah tangga di perdesaan pada Oktober inflasi 0,10 persen sehingga menyebabkan upah riil turun,” kata Margo dalam konferensi pers, Senin (15/11).

Sebagai informasi, angka inflasi pada Oktober lalu mencapai 0,12 persen, lebih tinggi dari persentase kenaikan upah buruh tani maupun buruh bangunan. Adapun inflasi pada bulan lalu terjadi di 68 kota sedangkan 22 kota sisanya mengalami deflasi.(ROL)