Sebanyak 101 kepala daerah akan mengakhiri masa jabatannya pada tahun ini. Padahal pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang baru akan serentak digelar pada 2024, sehingga memungkinkan kekosongan jabatan.

Kemendagri menyatakan, untuk mengisi kekosongan tersebut, pemerintah akan mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Nantinya Kemendagri akan mengangkat Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Walikota sampai dengan terpilihnya Gubernur/Wagub, Bupati/Wabup, serta Walikota/Wawako melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.

Berangkat dari situlah, Sulistyowati yang menjadi kuasa hukum para Pemohon yang terdiri dari Dewi Nadya Maharani, Suzie Alancy Firman, Moch. Sidik, Rahmatulloh, dan Mohammad Syaiful Jihad akan mengajukan permohonan pengujian Pasal 201 Ayat (10) dan ayat (11) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pasal 201 ayat (10) UU No. 10/2016 berbunyi: “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

"Itu artinya penjabat gubernur akan ditunjuk dari pejabat eselon I untuk melaksanakan pemilu serentak 2024 bagi kepala daerah yang habis masa jabatan 2022 dan 2023 oleh Menteri Dalam Negeri," kata Sulistyowati melalui siaran pers yang dikutip redaksi, Rabu (26/1).

Sementara Pasal 201 ayat (11) UU No. 10/2016 berbunyi: “Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan".

Dengan demikian, menurut Sulistyowati, penjabat walikota/ bupati akan ditunjuk dari pejabat eselon II b untuk melaksanakan pemilu serentak 2024 bagi kepala daerah yang habis masa jabatan 2022 dan 2023 oleh Menteri Dalam Negeri.

"Tentu saja hal tersebut merampas hak konstitusional para Pemohon, karena dengan adanya pasal-pasal tersebut para Pemohon tidak bisa memilih pemimpin kepala daerah secara langsung. Sehingga para Pemohon mengajukan pengujian UU Nomor 10 Tahun 2016," kata Sulistyowati.

Dalam permohonannya, para Pemohon mengajukan batu uji Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

Sulistyowati mengatakan, bahwa apa yang diamanatkan dalam pasal ini merupakan bagian daripada perjanjian internasional yang Indonesia telah setujui dalam, Declaration of Human Rights, Art. 29 (2).

”Jika diterjemahkan secara bebas yaitu, “Dalam melaksanakan hak dan kebebasannya, setiap orang hanya tunduk pada: batasan seperti yang ditentukan oleh hukum semata-mata untuk tujuan mengamankan pengakuan dan penghormatan yang layak terhadap hak dan kebebasan orang lain dan memenuhi persyaratan moralitas, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum yang adil dalam masyarakat yang demokratis”," kata Sulistyowati.

Selain itu, diajukan pula batu uji Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Artinya, ada perbedaan efektivitas penunjukkan, legitimasi rendah, berkarir berbasis prestasi, menjalankan kewenangan terbatas, masa jabatan singkat, “orang” droping pusat, pengetahuan daerah terbatas, sedangkan yang berasal dari pemilihan lebih kuat, berkarir berbasis popularitas dan akseptabilitas, menjalankan kewenangan penuh, masa jabatan lama, orang daerah menguasai penuh lokalitas;

Selanjutnya, batu uji Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Sulistyowati berpandangan, bagaimana mungkin pemegang kekuasaan menjunjung hukum dan pemerintahan tidak ada kecualinya ketika menjalankan kekuasaan dengan merampas hak para Pemohon?

Terakhir, batu uji Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dimana pemegang kekuasaan bahkan tidak memberikan kepastian hukum.

"Karena para Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya bisa kapan saja hilang ketika Presiden dan DPR RI bersatu membuat undang-undang seperti yang dikehendaki," tegas Sulistyowati.

Berikut petitum para Pemohon:

1. Menerima dan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Pasal 201 Ayat (10) dan ayat (11) UU No. 10/2016 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan mengikat;

3. Menyatakan ketentuan Pasal 201 Ayat (10) dan ayat (11) UU No. 10/2016 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sepanjang tidak dimaknai yang menjadi kepala daerah adalah yang melalui proses pemilihan kepala daerah yang dipilih langsung secara demokratis.

4. Menyatakan ketentuan Pasal 201 Ayat (10) dan ayat (11) UU No. 10/2016 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sepanjang tidak dimaknai penjabat kepala daerah adalah kepala daerah yang sudah dipilih rakyat sebelumnya untuk melanjutkan pemerintahan guna menyiapkan pemilihan kepala daerah 2024.(***)