Bagian Kesra Setda Karawang menyebut, ada kenaikan insentif honor daerah bagi para pemangku pendidikan keagamaan ditahun 2022 ini, seperti guru ngaji, Amil, marbot, guru RA, TPQ, DTA, MI dan Mts yang biasa diterima saat bulan Ramadan. Namun, kuota yang tetap di banding tahun sebelumnya, di sebut sistem pendataan yang di pancing secara top down (atas ke bawah_ref) di sebut tidak nampak inovasi dan progres perbaikannya. Bahkan, sejumlah tokoh agama menyebut, kuota yang di turunkan setiap bulan rajab dan pendataan di bulan Syakban, menjadi kebiasaan buruk kinerja pejabat bagian kesra dan mengakibatkan gejolak dilematis bagi para calon penerima yang tidak kebagian, hingga kegamangan pemerintahan desa.
Ustad Yayan S Mulyana, Guru Ngaji Asal Cilamaya Wetan


"Saya guru ngaji, lebih memilih di beri insentif Rp1 juta misalnya, dari pada Rp1,5 juta tapi kuotanya di desa banyak yang kurang. Jadi seharusnya, yang diperbanyak itu kuotanya, bukan nominalnya demi memenuhi rasa keadilan dan pemerataan, " Kata Guru ngaji di Desa Cilamaya Kecamatan Cilamaya Wetan, Ustad Yayan S Mulyana, Senin (8/3).

Ia menilai, setiap kali ada pendataan Guru ngaji, Amil, merbot dan lainnya selalu saja ada masalah antara kuota yamg diterima desa dengan jumlah Guru Ngaji yang ada, sehingga persoalan ini klasik dan tak pernah di benahi bagian Kesra Karawang. Kenapa, tanyanya tidak semua guru ngaji didata dulu jauh sebelum bulan Rajab, baru kemudian kuota ditentukan berdasarkan jumlah Guru Ngaji yang ada. Artinya, datalah dulu semua Guru Ngaji berdasarkan ajuan dari setiap Desa, baru kemudian dibagi dengan anggaran yang ada, ini sifat pendataan yang benar, alias bottom up, dari bawah ke atas.

"Contoh jumlah Guru Ngaji se kabupaten  Karawang misalnya ada 1000 orang,  sementara anggaran Guru Ngaji dari APBD sebesar Rp1 Milyar, maka tinggal dibagi saja 1000, berarti setiap guru 
ngaji dapat sejuta, itu lebih adil meskipun sedikit, tapi dibayarkan penuh dan merata sesuai data yang diterima. Bukan setelah bantuan turun, kemudian muncul spekulasi dugaan pemotongan dengan dalih pemerataan karena kurang kuota, " Pintanya.

Dari sisi pendataan saja, sebut Yayan, pejabat kesra terkesan memilih ngebut jelang puasa Ramadan, bukan inisiatif di awal tahun untuk mendapatkan data real di lapangan. Sehingga, ketika ada penambahan nominal bantuan, bagi para guru ngaji dan atau Amil mungkin merbot, bukan hal istimewa dan bukan pula sebuah capaian Pemkab, tetapi malah stagnan dengan tetapnya jumlah kuota dan data secara top down. 

"Ada desa wilayah pesantren tapi guru ngajinya sedikit dibanding desa yang tak ada pesantren. Bahkan, kota antar kecamatan satu dengan kecamatan lainnya juga nampak jomplang dan jauh selisihnya, apa iya begitu? " tanyanya.

Kalau seandainya pendataan seperti ini terus dan pembatasan kuota yang tidak ditambah tanpa ada perubahan, yakin sebutnya, pemerintah desa, penyuluh KUA dan atau mungkin Kesos yang justru kewalahan di lapangan. Mereka akan berpikir, bagaimana mensiasati yang tidak masuk daftar, bagaimana menggilir, atau bagaimana harus membagi memukul rata agar yang tidak masuk bisa tetap terbagi. 

"Saya pikir harus rubah pola pikir pendataan kedepan. Kalau begini terus yang kerja ya orang kecamatan, desa dan penyuluh KUA saja, kalau Kesra hanya ngasih kuota doang, apa kinerjanya ?. Apakah mereka tahu pendataan itu ada kesulitan like dislike kades baru misalnya, Amil diganti, merbot di ganti dalih politis, apakah mereka tahu dampaknya di lapangan? " tanyanya. (Rd)