Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, menyoroti kebijakan pemerintah Arab Saudi dalam menyelenggarakan ibadah haji yang mengalami perubahan, terutama tahun ini terkait pendanaan yang membuat Indonesia tiba-tiba harus bayar Rp 1,46 triliun untuk masyair.

Ke depan, kata Gus Yaqut, perubahan akan terjadi pada aspek layanan, yaitu digitalisasi proses haji. Penyelenggaraan ibadah haji akan berbasis digital.

"Menurut Gubernur Makkah selaku Dewan Malaki sekaligus Ketua Komite Haji Saudi, beliau katakan ke depan prosesnya akan digitalisasi," ucap Gus Yaqut di Makkah, Selasa (5/7).

Gus Yaqut menyebut kebijakan itu akan menjadi tantangan bagi Indonesia karena mayoritas jemaah haji Indonesia adalah lulusan SD yang tak semua melek teknologi.

Data tahun ini, sebanyak 33,1 persen jemaah Indonesia lulusan SD/MI, 24,2 persen lulusan SLTA/MA, 21,2 persen lulusan S1, 5,8 persen lulusan D1/D2/D3/SM, 3,3 persen lulusan S2, 0,2 persen lulusan S3, sisanya lain-lain.

"Jemaah haji kita mayoritas SD, bagaimana hadapi saat haji didigitalisasi? Ini jadi tantangan luar biasa," - Gus Yaqut

Tak hanya itu, Gus Yaqut menyebut jika melihat visi Putera Mahkota Saudi 2030, jemaah haji ke depan akan dibuka hingga 5-6 juta jemaah dengan layanan terdigitalisasi.

"Gimana kita mengaturnya? Ya memang kita harus siapkan sejak dini. Saya setuju semua hal kita antisipasi," tuturnya.

Tak hanya soal digitalisasi, Gus Yaqut menyinggung kebijakan baru Saudi yang disebut Cak Imin cenderung pada swastanisasi. Dampaknya bukan hanya akan ada biaya-biaya tambahan, tapi bisa jadi hingga penerbangan akan diswastanisasi.

Yaitu pesawat yang digunakan untuk penerbangan jemaah haji reguler bisa jadi hanya boleh pesawat milik Saudi yaitu Saudi Airlines,dilansir Kumparan (6/7/22).

"Paket masyair kira-kira bukan hanya konsumsi, tenda, transportasi, dan sebagainya di Arafah, Muzdalifah, dan Mina, tapi terkait penerbangan. Kalau terjadi itu, wassalam Garuda Indonesia. Kayak begini harus diantisipasi," pungkasnya.(*)