KPK Dalami Aliran Uang yang Diterima RAT,KPK Sebut Kantongi Bukti Korupsi Mantan Dirut Pertamina
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka peluang mengembangkan penerimaan uang mantan Pejabat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), RAT. Uang tersebut dari sejumlah pihak ke arah pidana suap.
Tak terkecuali dugaan penerimaan uang Rp6 miliar dari PT Cahaya Kalbar, salah satu perusahaan dari Wilmar Group. "Jadi kita lihat dari masing-masing saksi ini (jika) ternyata ditemukan perkara baru tentu akan kita tangani," kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur kepada wartawan, di gedung KPK, Jakarta, Jumat (22/9/2023).
Aliran uang Rp6 miliar itu diungkap jaksa dalam surat dakwaan penuntut umum KPK terhadap RAT. Ia merupakan terdakwa dugaan penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang sedang bergulir di Tipikor Jakarta.
Dalam proses penyidikan gratifikasi dan TPPU Rafel, KPK telah mengagendakan dan memeriksa sejumlah saksi. Salah satu saksi yang pernah diagendakan diperiksa yakni saudara perempuan dari pendiri Wilmar Group, MS, yaitu TI.
TI pernah dijadwalkan diperiksa, Jumat (26/5/2023), namun tak hadir alias mangkir. Atas ketidakhadiran itu KPK kembali menjadwalkan pemeriksaan TI, Senin (29/5/2023), namun TI saat itu kembali mangkir.
"Karena itu terkait dengan perkembangan penyidikan termasuk fakta-fakta persidangan yang diterangkan oleh saksi-saksi. Nanti kita lihat bagaimana perkembangan persidangan tersebut dari laporan jaksa penuntut umum," ucap Alex.
Diketahui, dugaan penerimaan uang senilai Rp6 miliar dari PT Cahaya Kalbar itu terjadi sekitar bulan Juli 2010. PT tersebut salah satu perusahaan dari Wilmar Group menjadi wajib pajak pada Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jakarta.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga meyakini Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina (Persero), GKK atau KA melakukan tindak pidana korupsi. Keyakinan itu atas dasar sejumlah informasi dan bukti yang telah dikantongi lembaga antokorupsi.
Diketahui, KA ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) di PT Pertamina 2011-2021. "Ketika kami di KPK menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka, kami pun juga punya dasar dan bukti yang cukup," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (22/9/2023).
"Dan berdasarkan kecukupan alat bukti tersebut kami meyakini bahwa terjadi peristiwa pidana. Dan berdasarkan bukti yang cukup pula kami meyakini saudara KA adalah pelaku tindak pidana korupsi," ujarnya.
Hal ini disampaikan Alex menanggapi bantahan KA. Dalam keterangannya KA sebelumnya, ia menepis bermanuver sendiri dalam pengadaan LNG saat itu.
KA mengklaim keputusan pengadaan LNG itu melibatkan banyak pihak dan diketahui pemerintah. Selain itu, klaim KA, pengadaan LNG saat itu tak merugikan negara.
Ia juga menyebut, kebijakannya di pengadaan LNG merupakan perintah jabatan. "Begini, begini, yang namanya dimaksud presiden, itu adalah perintah jabatan, harus dilaksanakan," kata KA sebelum dibawa mobil tahanan di gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa (19/9/2023).
KA meyebut kebijakan pengadaan LNG di Pertamina telah sesuai dengan Inpres Nomor 14 tahun 2010. Ia juga menjelaskan Inpres tersebut menjadi acuannya dalam menjalankan kebijakan tersebut.
"Itu perintah jabatan dan saya melaksanakan sudah sesuai dengan melaksanakan sebagai pelaksanaan anggaran dasar. Ada due diligence, ada tiga konsultan yang terlibat," ujar KA.
"Jadi sudah ada tiga konsultan dan itu sudah disetujui oleh seluruh direksi secara kolektif kolegial dan secara sah. Karena ingin melanjutkan apa yang tertuang dalam proyek strategis nasional," ucap KA.
Alex tak mempersoalkan bantahan dan pembelaan KA tersebut. Yang jelas, hal terkait pemidanaan yang disangkakan ini akan diklarifikasi dan dikonfirmasi kepada saksi lainnya dalam proses penyidikan.
Selain itu, sambung Alex, akan diuji dalam proses persidangan. Alex menegaskan pihaknya tak akan sembarangan menetapkan dan menahan seseorang dalam kasus korupsi. (*)