Kerusuhan Amal Natal di Nigeria Tewaskan 67 Orang
Kerusuhan terjadi di tiga acara amal Natal di Nigeria, yang menewaskan setidaknya 67 orang. Korban tersebut termasuk 35 anak-anak di negara bagian Oyo, 22 orang di Anambra, dan 10 orang di Abuja.
Orang-orang berdesakan untuk mendapatkan makanan dan pakaian di tengah krisis ekonomi parah. Inflasi di Nigeria mencapai 34,6%, tingkat tertinggi dalam 28 tahun, membuat banyak orang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar.
Melansir dari AP News, Selasa (24/12/2024), sekitar 63% dari lebih 210 juta orang Nigeria hidup dalam kemiskinan. Krisis ini diperburuk dengan kebijakan pemerintah yang berfokus pada penghematan dan menarik investor.
Kebijakan pemerintah tersebut menyebabkan mata uang naira terus melemah. Ketika orang-orang berusaha mengatasi kesulitan hidup, protes sering kali berakhir dengan kekerasan hingga menelan korban jiwa.
Di Abuja, beberapa korban tewas menunggu semalaman di luar gereja dalam cuaca dingin untuk mendapatkan bantuan lebih awal. Keamanan dalam acara amal sering kali diabaikan, dan para penyelenggara tidak memprioritaskan keselamatan pengunjung.
Penyelenggara acara amal sering tidak memikirkan langkah-langkah pengamanan yang memadai. Hal ini menyebabkan kerusuhan ketika orang-orang berusaha mendapatkan posisi terbaik sebelum acara dimulai.
Di Abuja, gereja terpaksa membatalkan acara setelah kerusuhan, meninggalkan tas berisi beras dan pakaian yang tidak terdistribusi. Analis menyatakan bahwa kerusuhan ini juga disebabkan oleh keputusasaan orang-orang yang ingin bertahan hidup.
Menurut analis, meningkatnya jumlah acara amal untuk memenuhi kebutuhan pangan hanya akan memperburuk situasi. Pemerintah Nigeria, melalui Presiden Bola Tinubu meminta pihak berwenang untuk tidak mentolerir kelalaian operasional dari penyelenggara acara amal.
Polisi kini mewajibkan penyelenggara untuk mendapatkan izin terlebih dahulu sebelum mengadakan acara semacam itu. Namun, para analis meragukan efektivitas komitmen ini karena sulit diterapkan di lapangan.
Keputusasaan orang-orang untuk mendapatkan bantuan pangan mendorong mereka untuk berkerumun. Sementara itu, budaya antre yang buruk juga memperburuk situasi.(*)