Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Keluarga dan Kependudukan, Woro Srihastuti Sulistyaningrum mengatakan fenomena ini sangat memprihatinkan. Dampak yang dirasakan oleh siswa cukup signifikan hingga siswa tersebut malu dan tidak mau masuk sekolah lagi.
“Ada yang seharusnya bisa kita sikapi dengan cepat kenapa anak itu terjerat judi on line (judol) dan pinjaman on line (pinjol). Kita harus bisa melihat apa yang harus kita lakukan” ujar Woro, Senin (27/10/2025).
Woro mengatakan anak usia 10-15 tahun memiliki rasa keingintahuan yang tinggi dan cenderung berani mengambil risiko. Padahal pengendalian impulsnya belum matang dan memerlukan pendampingan.
Dikabarkan, siswa SMP tersebut bisa mengakses judol dan pinjol dengan menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dari Bibinya. Dinas Pendidikan dan Olah Raga (Dispora) Kulon Progo telah turun tangan setelah mengetahui kasus ini.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji menjelaskan semestinya judol tidak boleh masuk ke 'ruang anak'. Kasus ini terjadi di ruang digital yang tidak dapat dianggap sebagai kasus individual.
"Patut dipertanyakan bagaimana peran Otoritas Jasa Keungan (OJK) dalam konteks mengatur pinjol sampai bisa bebas masuk ke handphone anak-anak. Kemudian, kenapa penegak hukum sampai hari ini tidak bisa nyetop judol," ucap Ubaid Matraji.
Menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 2024, jumlah pemain judol 4 juta orang, umumnya usia 30-50 tahun. Namun, sekitar 11% pemain judol berusia 10-20 tahun.
Peran orang tua dan guru penting dalam memperkuat literasi digital dan keuangan kepada anak-anak. Pihak sekolah juga perlu memperhatikan anak didiknya, "agar dapat menjadi tempat keluh kesah dan membantu menghadapi masalah," kata Ubaid.(*)

