Hari ini
Cuaca 0oC
Headline News :

Sangat Disayangkan, Rupiah Terus Merosot Jadi Rp16.676 per Dolar AS

Jakarta: Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus berlanjut hingga penutupan perdagangan Senin (3/11/2025). Menurut Bloomberg, rupiah melemah cukup dalam 0,27 persen atau 45 poin menjadi Rp16.676 per dolar AS.
Lembaran uang rupiah dari nilai terbesar hingga terkecil (Foto: Dokumentasi Bank Indonesia)
Lembaran uang rupiah dari nilai terbesar hingga terkecil (Foto: Dokumentasi Bank Indonesia)

Menurut analis pasar uang, Ibrahim Assuaibi, rupiah melemah karena tekanan dolar AS yang menguat. Indeks dolar AS mencapai level tertinggi 99,81 dalam tiga bulan terakhir.

"Penguatan dolar AS karena turunnya ekspektasi pasar terhadap pemangkasan suku bunga The Fed pada Desember 2025," katanya. Harapan pasar merosot setelah Ketua The Fed, Jerome Powell, mengatakan pengurangan suku bunga lebih lanjut belum pasti.

Selain itu, belum ada kepastian kapan penutupan (shutdown) pemerintah AS akan berakhir. Perundingan di tingkat senator masih tersendat meski Presiden AS, Donald Trump, sudah mendorong penyelesaian RUU Pendanaan.

Penutupan pemerintah AS menyebabkan rilis data ekonomi utama AS tertunda. Hal ini meningkatkan kekhawatiran atas dampaknya terhadap perekonomian secara lebih luas.

"Ini yang membuat dolar terus menguat, sementara rupiah siap tembus Rp16.800-Rp16.900 per dolar AS," ucap Ibrahim. Peluang dolar AS terus menguat juga dipengaruhi faktor geopolitik terutama konflik Rusia-Ukraina.

Menurut Ibrahim, ada kekhawatiran terjadinya gangguan pasokan minyak setelah Ukraina menyerang pelabuhan minyak utama Rusia di Laut Hitam. Serangan pada Minggu (2/11/2025) itu adalah strategi Ukraina untuk menghambat upaya perang Rusia dengan menyerang infrastruktur energinya.

Rusia sebelumnya menyerang wilayah Zaporizhzhia di Ukraina. "Serangan itu mengganggu pasokan listrik untuk sebagian besar wilayah negara tersebut," ujarnya.

Hasil pertemuan Presiden Trump dan Presiden Tiongkok, Xi Jinping, juga mempengaruhi pergerakan nilai tukar mata uang. Keduanya berjanji mengurangi hambatan perdagangan berupa pengurangan tarif oleh Washington dan komitmen Beijing meningkatkan impor barang-barang Amerika.

Dari dalam negeri, ekspansi manufaktur Indonesia terus berlanjut dalam tiga bulan terakhir. Pada Oktober 2025, Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia naik menjadi 51,2 dari 50,4 di bulan sebelumnya.

"Laporan terbaru S&P Global menunjukkan kondisi manufaktur yang stabil," kata Ibrahim. Baik dari segi produksi, peningkatan aktivitas pembelian, serta penyerapan tenaga kerja.

Lonjakan permintaan bersumber dari permintaan domestik, sedangkan permintaan ekspor justru merosot dua bulan beruntun akibat lemahnya pasar global. Volume produksi sedikit tertinggal dan berada di level netral karena sebagian produsen menghabiskan persediaan barang yang tersisa.

Di sisi lain, tekanan harga masih tetap tinggi sehingga beban biaya rata-rata meroket. Kenaikannya juga paling tajam dalam delapan bulan terakhir, seiring laporan kenaikan harga bahan baku.

"Perusahaan cenderung berhati-hati untuk membebankan kenaikan biaya kepada pelanggan," kata Ibrahim. Akibatnya, harga jual hanya naik tipis sebagai upaya mempertahankan daya saing.(*)

Hide Ads Show Ads