HEADLINE
---
Advertisement

Alih Fungsi Lahan Berakibat Kerawanan Pangan

Karawang-PELITAKARAWANG.COM-Sebelumnya,M Gde Siriana Yusuf,SE sedikit menyorot tentang tentang semangat perubahan dan kali ini ,dia menjawab  pertanyaan-pertanyaan yang di tujukan ke dirinya oleh  para pembaca setia PELITAKARAWANG.COM terkait alih fungsi lahan dan pernak-penik di dunia pertanian terjadi di daerah  Indonesia.

Menurut Gde,Tiap tahun, sekitar 158.000 hektar pertanian berubah fungsi menjadi kawasan perumahan, pabrik-pabrik, dan jalan tol. Alih fungsi lahan telah menyebabkan menurunnya produksi padi, sementara jumlah penduduk yang terus meningkat membutuhkan beras/pangan yang lebih banyak.

Alih fungsi lahan tidak bisa hanya dilihat secara fisik saja tapi harus pula di pahami dari sudut industri pertanian secara komprehensif serta mengamati berbagai kebijakan Pemerintah.Beralihnya fungsi lahan hanyalah suatu akibat dari berbagai hal yang mendahuluinya terutama ketika sistem pertanian mengalami kehancuran.yang menyebabkan secara ekonomi bahwa hasil pertanian sudah tidak lagi mencukupi kehidupan para petani,dan terburuk dari pergeseran-geseran tersebut adalah  tidak menarik lagi untuk menjadi petani, terutama oleh para petani muda mulai menghilang,ungkap  dari calon anggota DPR RI periode 2014-2019 asal partai Hanura untuk daerah pemilihan Jawa Barat VII yang meliputi Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi.

M Gde Siriana Yusuf,SE
Kehancuran sistem dunia pertanian  sebenarnya di balut oleh beberapa masalah yang haruis segera di benahi,tambah Gde.

"Hancurnya saluran irigasi di mana-mana yang mengakibatkan tidak lagi menunjang pengairan sawah, terutama perubahan musim kemarau yang saat ini sulit diprediksi. Belum lagi penyalah gunakan fungsi irigasi yang seringkali dijadikan pemukiman liar di sekitarnya. Di sisi lain kebijakan distribusi pupuk yang tidak memihak kepada para petani (subsidi yang masih kurang) dan ketersediaan pupuk yang memenuhi standar kebutuhan tanaman juga menjadi fenomena dunia tani saat ini termasuk terjadi di seputar Kabupaten Karawang,Bekasi dan Purwakarta.",ungkap Gde.

Keadaan tersebut  untuk saat ini belum semua tersentuh oleh pemerintah daerah atau pusat karena selalu jadi dalih kerterbatasan dana atau kah yang sesungguhnya pemerintah belum tahu akar masalah yang terjadi,maka kita di mulai dari sekarang bukan lagi sebatas memikiran tapi meniindak lanjutinya,tandas dia.

Tidak ada lompatan besar dalam rekayasa bibit padi/benih unggul yang mampu menghasilkan lebih dalam kondisi iklim cuaca saat ini,Kebijakan pestisida yang tidak mendukung para petani (kualitas rendah dan tidak konsisten) dan tidak meratanya alat teknologi pertanian, misalnya traktor yang memang secara ekonomis akan menghasilkan lebih dibanding hewan dan tenaga manusia merupakan PR yang harus di bereskan darii level nasional hingga pedesaan,ajak  Gde.

Ketika otonomi daerah memberi kesempatan kepada pemerintah daerah untuk mengembangkan pendapatan daerah, antara lain dengan pembangunan pabrik, perumahan dan ruko-ruko, serta fasilitas/prasarana pariwisata, maka terjadilah perebutan lahan-lahan persawahan ini. Tawaran-tawaran ekonomi datang di saat para petani mengalami frustrasi dengan hasil pertanian yang tidak lagi cukup untuk hidup, maka terjadilah alih fungsi lahan besar-besaran. Persawahan dijual kepada para investor. Semua itu dilakukan dalam pola pikir jangka pendek, prestasi pembangunan 5 tahun para Bupati di seluruh pelosok Indonesia telah mengorbankan persawahan.

Kemudian dari itu semua, kata dia,peristiwa alih fungsi lahan telah mengakibatkan kehidupan di desa mengalami pergeseran nilai-nilai dan budaya (hilangnya kearifan lokal,red). Tidak ada lagi lumbung padi yang menerapkan asas gotong royong.Tenaga kerja yang diserap pertanian menurun, mata pencaharian masyarakat berubah menjadi buruh industri,mempercepat kerusakan lingkungan yang menyebabkan banjir dan tanah longsor. Bahkan efek banjir tidak saja terjadi di daerah tersebut, tetapi menyebabkan banjir di daerah tetangga sebagai bagian dari aliran serapan hujan dan yang paling fatal adalah terjadinya kerawanan pangan karena produksi beras menurun,pungkas Gde yang merupakan Pendiri Solidaritas Profesional Untuk Reformasi (SPUR) tersebut. (KS).www.pelitakarawang.com
Baca Juga:
Posting Komentar
Tutup Iklan
Advertisement