Kejaksaan Agung (Kejakgung) tak lagi menjadikan pemidanaan badan atau pemenjaraan sebagai hukuman terhadap pengguna narkotika. Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin memerintahkan agar para jaksa penuntut umum (JPU) di seluruh Indonesia menerapkan konsep keadilan restoratif, berupa rehabilitasi dalam setiap penuntutan di pengadilan bagi para pengguna narkotika tersebut.

Jaksa Agung: Pengguna Narkotika tak Harus Dituntut Penjara

Perintah Burhanuddin tersebut tertuang dalam Pedoman Jaksa Agung 18/2021 yang sudah diterbitkan. “Tujuan ditetapkannya Pedoman Jaksa Agung tersebut, untuk optimalisasi penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restoratif sebagai pelaksanaan asas dominus litis jaksa, pengendali perkara,” begitu kata Burhanuddin, dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta, Ahad (7/11).

Pedoman tersebut diterbitkan dan diterapkan mulai 1 November 2021. Kata dia, sebetulnya pedoman tersebut sebagai basis pelaksanaan penuntutan oleh seluruh jaksa terhadap perkara yang terkait dengan Undang-undang (UU) 35/2009 tentang Narkotika. Khususnya menyangkut tentang para pelaku penyalahgunaan narkotika dalam Pasal 127 ayat (1).

Selama ini, pasal tersebut berorientasi pada penghukuman satu sampai empat tahun kepada pengguna narkoba. Menurut Burhanuddin, hal itu berujung pada persoalan serius yang dihadapi sistem pemidanaan saat ini. Yaitu penuhnya seluruh fasilitas pemenjaraan yang didominasi oleh para pengguna narkotika.

“Isu overcrowding telah menjadi perhatian serius masyarakat, dan pemerintah sebagaimana dalam Rencana Pembangunan Jangka Menangah 2020-2024,” ujar Burhanuddin.

Lewat Pedoman 18/2021 tersebut, kejaksaan berinisiatif mengambil langkah progroresif dengan mengubah orientasi penjeraan pengguna narkotika dengan pendekatan keadilan restoratif. Yaitu, dengan menjadikan kewajiban rehabilitasi sebagai hukuman dalam setiap penuntutan di pengadilan. Penuntutan tersebut pun dengan mengoptimalkan peran lembaga dan pusat rehabilitasi narkotika.

“Jaksa selaku pengendali perkara, berdasarkan asas dominus litis, dapat melakukan penyelesaian perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi pada tahap penuntutan,” ujar dia.

Kata Burhanuddin, pendekatan itu akan mengubah persepsi hukum terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika. Dari yang selama ini dicap sebagai pelaku tindak pidana, menjadi korban dari kejahatan narkotika.

Karena itu, kata Burhanuddin, Pedoman Jaksa Agung 18/2021, punya semangat untuk memulihkan para korban kejahatan narkotika itu dengan melakukan rehabilitasi. Bukan dengan memasukkan para korban kejahatan narkotika tersebut ke dalam sel penjara.

Institute of Criminal Justice Reform (ICJR), pernah merilis tentang kapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas) yang mencapai 204 persen pada 2020. Dalam rilis tersebut dikatakan, per Maret 2020, jumlah penghuni penjara di seluruh Indonesia mencapai 270.466 narapidana. Padahal, kapasitas rumah tahanan, maupun lapas di Indonesia, hanya cukup menampung sekitar 132.335 WBP.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 38.995 orang atau sekitar 55 persen adalah para pengguna narkotika. ICJR kerap mengkritisi pemerintah, maupun aparat penegak hukum, yang menjadikan pemidanaan sebagai solusi dalam pemberantasan tindak pidana narkotika.(ROL)