WJS, penyandang dana bisnis pinjaman online (pinjol) ilegal asal Tiongkok menggunakan alamat fiktif kantor Koperasi Simpan Pinjam Inovasi Milik Bersama (KSP IMB). Warga negara asing itu membuat alamat palsu di Jagakarsa dan Kasablanka, Jakarta Selatan.

"Kita kan berpikir di situ banyak kayak orang-orang yang ditangkap Polda Metro, ternyata enggak ada, fiktif," kata Kasubdit 4 Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri Kombes Andri Sudarmadi di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Jumat, 12 November 2021.

Andri menelusuri alamat KSP IMB di internet. Kemudian, penyidik mendatangi lokasi untuk menggerebek penyandang dana pinjol ilegal tersebut.

Polisi tak menemukan apa pun di alamat itu. Bahkan, alamat yang disebut dalam internet itu tidak ada di Jagakarsa dan Casablanka.

"Itu alamat palsu, abal-abal. Jadi kita tanya RT sekian, Pak RT bilang di sini cuma sampai segini. Jadi, fiktif," ujar Andri.

Kemudian, polisi menginterogasi dua tersangka dari perusahaan transfer dana yang telah ditangkap. Guna mencari tahu pemilik KSP IMB tersebut.

"Oh si ini (WJS), itu kita dalami terus, kita lakukan pengejaran (terhadap WJS) di daerah Kemayoran (Jakarta Pusat)," ungkap Andri.

Keberadaan warga Tiongkok itu diketahui berada di sebuah apartemen kawasan Kemayoran. Polisi mengubek-ubek sejumlah unit apartemen sejak 27 Oktober 2021.

Terakhir, Selasa, tanggal 2 November 2021 polisi mendapat informasi ada pergerakan. WJS hendak meninggalkan Jakarta melalui Bandara Soekarno-Hatta (Soetta), Tangerang, Banten.

"Ternyata dia penerbangan jam 22.00 WIB malam, kita sudah standby jam 19.00-20.00 WIB. Ya sudah, kita di situ (mengadang) ternyata dia mau ke Turki," ucap Andri.

WJS diringkus di Terminal 3 Bandara Soetta pada Selasa malam, 2 November 2021. WJS telah ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Bareskrim Polri.

Selain WJS, polisi juga menangkap 12 pelaku lainnya. Mereka merupakan satu jaringan, baik dari desk collection, perusahaan transfer dana, hingga penjual SIM card yang telah diisi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Kartu Keluarga untuk mereror debitur.

Para tersangka dikenakan Pasal 311 KUHP, Pasal 45b Jo Pasal 29 dan atau Pasal 45 ayat 1 Jo Pasal 27 ayat 1 dan atau Pasal 45 ayat 3 Jo Pasal 27 ayat 3 dan atau Pasal 45 ayat 4 Jo Pasal 27 ayat 4 dan atau Pasal 1 ayat 1 Jo Pasal 35 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Kemudian, Pasal 115 Jo Pasal 65 ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dilapis dengan Pasal 62 ayat 1 Jo Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 88 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Lalu, dilapis lagi dengan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana. Terakhir, Pasal 3, 4, 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

"Ancaman hukumannya paling lama 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp10 miliar," ujar Andri.(Medcom)