Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) terus menggaungkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan, utamanya dalam lingkup rumah tangga melalui penegakkan hukum dan hak asasi manusia.

Untuk itu Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, mengajak masyarakat dan aparat pemerintah untuk bersama-sama menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga dan menjaga tidak ada kekerasan dalam rumah tangga. Upaya perlindungan hukum harus dilakukan terhadap korban kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, khususnya perempuan dan anak sebagai kelompok rentan menjadi korban kekerasan.

"Kami turut prihatin atas kejadian yang terjadi di Kampung Manjul, Desa Sukamaju, Kecamatan Cianjur yang menimpa S (21) korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suaminya yang merupakan Warga Negara Asing (WNA), AL (29) yang dengan keji menyiram air keras dan menyiksa korban hingga meninggal dunia," tutur Menteri PPPA melalui keterangan tertulisnya kemarin, Selasa (23/11/2021).

Menteri PPPA menyatakan bahwasanya kita semua setuju jika aturan harus ditegakkan sebagaimana ketentuan dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau subordinasi, khususnya perempuan. Hal ini menjadi sangat diperlukan mengingat banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga.

"Selama ini kita terus berjuang untuk tidak melanjutkan budaya kekerasan di semua lingkup masyarakat hingga lingkup terkecil, yaitu keluarga. Dalam kelompok masyarakat, perempuan dan anak adalah kelompok rentan sehingga kita semua wajib melindungi dan menghindarkan mereka menjadi korban kekerasan, termasuk kawin kontrak yang juga marak terjadi di daerah," tegas Menteri PPPA.

Hak asasi manusia dalam konstitusi merupakan hak warga negara yang disebut sebagai hak-hak konstitusional, yakni hak-hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945, sejalan dengan prinsip Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan harus dilakukan di segala bidang, seperti sosial, politik, ekonomi, hukum, keamanan, termasuk diskriminasi dalam keluarga.

Hal ini juga sejalan dengan upaya mengawal Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia sejak 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.

Dipilihnya rentang waktu tersebut adalah dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.

Pemerintah wajib memenuhi dan melindungi hak asasi perempuan, salah satunya Undang - Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang mengatur langkah - langkah antisipasi lahirnya kekerasan baru dan adanya kejelasan sanksi bagi pelaku kekerasan.

"Kami mengajak masyarakat untuk mengawal kasus ini agar tidak ada lagi korban kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik, psikis, seksual, dan penelantaran dalam rumah tangga. Kami juga meminta aparat kepolisian untuk memproses kasus ini sesuai aturan hukum yang berlaku. Tugas kita semua untuk semaksimal mungkin mencegah terjadinya kekerasan di sekeliling kita agar terwujud zero kekerasan," tutup Menteri PPPA.

Pelaku dalam hal ini dapat dikenakan sanksi Pasal 6 jo Pasal 44 ayat (3) UU PKDRT karena menyebabkan meninggalnya korban. Jika dilihat dalam aturan KUHP, yang dilakukan pelaku kepada korban dapat dikatakan sebagai bentuk penganiyaan berat yang mengakibatkan matinya seseorang atau pembunuhan.

Catat! Untuk memudahkan aksesibitas kepada korban atau siapa yang melihat dan mendengar untuk melaporkan kasusnya melalui call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 dan whatsapp online 08111 129 129. (as)