Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah KH Muhbib Abdul Wahab menyampaikan, ada tantangan yang dihadapi santri di era digital sekarang ini. Bahkan tantangan tersebut menurutnya sangat kompleks.


Foto Ilustrasi : Logo HSN

Kiai Muhbib mengatakan, tantangan pertama ialah adaptasi mental spiritual dan intelektual dalam menghadapi perubahan yang sangat cepat dan pesat. Jika santri tidak dibekali literasi digital yang memadai, mereka bisa teralienasi dan termarjinalisasi dalam beradaptasi dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.


Hal itu, lanjut Kiai Muhbib, karena ada sebagian pesantren yang mengharamkan santri memegang gawai dan menonton televisi. "Akses internet masih sangat dibatasi dengan kekhawatiran tertentu. Misalnya disalahgunakan santri untuk melihat hal yang tidak patut dilihat," kata Dosen Pascasarjana Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah itu kepada Republika.co.id belum lama ini.


Tantangan kedua ialah setelah nyantri. Kiai Muhbib memaparkan, sebagian wali santri ada yang merasa kurang percaya diri anaknya bisa diterima di kampus negeri. Namun, sebagian lagi ada yang merasa bahwa setelah lulus di pesantren, anaknya diproyeksikan untuk melanjutkan studi di beberapa universitas di Timur Tengah dengan seleksi dan kompetisi yang sangat ketat. Misalnya untuk bisa diterima di Al-Azhar Kairo Mesir atau universitas lain di Timur Tengah seperti Arab Saudi, Yordania, Sudan, dan Maroko.


Tantangan selanjutnya adalah kesiapan kerja atau pengembangan profesi setelah lulus jika tidak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Menurut Kiai Muhbib, mayoritas pesantren belum berorientasi pada pengembangan keterampilan hidup dan jiwa kewirausahaan, karena kurikulum pesantren umumnya didesain sebagai pusat tafaqquh fid din.


Santri sebagai calon lulusan pesantren, harus memiliki dan menguasai sejumlah kompetensi. Di antaranya kompetensi profesional, keagamaan, moral, komunikasi, sains modern termasuk di dalamnya literasi digital, kewirausahaan atau life skills, dan kekaryaan atau menulis. "Lulusan pesantren juga harus memiliki kompetensi sosial keumatan, dengan mampu menjadi teladan sosial dan moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara," tuturnya.


Kiai Muhbib juga melihat, bidang yang belum matang dikuasai kaum santri itu variatif, tergantung model pesantrennya. Sebab tak sedikit pesantren yang mengunggulkan bidang tertentu dalam sistem pendidikannya. Dia mencontohkan pesantren Muhammadiyah dengan keunggulan literasi sains dan teknologi, seperti pesantren sains (trensains) Darul Ihsan Sragen, Jawa Tengah.


Ada pesantren yang unggul dalam literasi kajian keislaman dan pelestarian lingkungan, seperti Darul Arqam Garut. "Ada yang SDM-nya menonjol dalam ketarjihan, studi Alquran, studi hadis, dan tahfizh seperti Pondok Modern Muhammadiyah Paciran Lamongan, Jawa Timur," papar Kiai Muhbib.


Seluruh tantangan, terangnya, harus dihadapi dengan mematangkan beberapa aspek. Pertama yakni literasi keislaman, yang meliputi pembelajaran, kajian maupun penguasaan ilmu-ilmu keislaman. Kedua ialah literasi sains modern yang terintegrasi dengan literasi keagamaan, dengan bekal dan pengembangan terhadap keterampilan penelitian dan publikasi.


Ketiga yaitu literasi digital, yang meliputi pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi guna mengembangkan mutu agama, sains, keterampilan berpikir kritis dan kreatif serta inovasi. Keempat adalah kolaborasi untuk kemaslahatan dan kemajuan peradaban umat dan bangsa.


Kiai Muhbib juga berpandangan, saat ini kualitas SDM para santri sangat beragam, tergantung latar belakang pendidikan dan sosial mereka. Ada santri dari pendidikan dasar baik Madrasah Ibtidaiyah maupun SD yang sudah punya hafalan beberapa juz Alquran, dan ada pula yang masih belum memiliki modal memadai untuk masuk pesantren.


Di beberapa pesantren Muhammadiyah, jelas Kiai Muhbib, kualitas input SDM santri mengalami peningkatan mutu. Ini terbukti dari daya saing yang semakin ketat untuk bisa diterima di pesantren Muhammadiyah. Misalnya, Muhammadiyah Boarding School (MBS) Ki Bagus Hadikusumo Jampang Parung Bogor, yang dalam 4 tahun terakhir menolak banyak calon santri karena faktor kualitas SDM yang belum sesuai standar tes tulis dan lisan pada ujian masuk. Faktor lainnya keterbatasan lokal asrama dan kelas.


"Kualitas SDM santri bagi Muhammadiyah menjadi salah satu standar mutu yang sangat dipertimbangkan. Karena layanan pendidikan pesantren Muhammadiyah harus mengantarkan mereka menjadi lulusan yang unggul dan berdaya saing tinggi," ungkapnya.


Kiai Muhbib menjelaskan, salah satu kebijakan Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah adalah standarisasi tata kelola, tata kepemimpinan dan kepengasuhan. Secara struktural, lembaga tersebut memiliki dan menyosialisasikan berbagai regulasi, yaitu pedoman, panduan, dan SOP pengelolaan pesantren Muhammadiyah, termasuk panduan budaya pesantren.


Kiai Muhbib juga menuturkan, sebagian pesantren Muhammadiyah saat ini telah mengembangkan kemandirian ekonomi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan sivitas akademika pesantren dengan mengembangkan amal usaha seperti mini market, pabrik roti, catering, laundry, budi daya lele, biro perjalanan haji dan umrah, penyulingan air minum, koperasi pesantren, dan sebagainya. Beberapa pesantren bahkan telah menerapkan aplikasi transaksi sehari-hari santri dengan sistem cashless, seperti MBS Prambanan dan MBS Al-Amin Bojonegoro.


Digitalisasi juga dilakukan terhadap sumber, bahan ajar, dan pemantauan serta evaluasi terhadap proses pembelajaran. Bahkan, Kiai Muhbib mengatakan, kini sudah mulai dikembangkan digitalisasi terhadap pemantauan dan evaluasi dari wali santri terhadap putra-putrinya. Seperti yang dilakukan Darul Arqam Garut dan Al Furqon Tasikmalaya. (ROL)