Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menegaskan tidak ada kasus kekerasan seksual yang boleh diselesaikan secara damai dan tidak diproses secara hukum karena akan bertentangan dengan undang-undang (UU).

Foto : Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga

Untuk itu, pihak kepolisian perlu menuntaskan kasus kekerasan seksual dalam rangka penegakkan hukum melindungi korban pemerkosaan dan membuat efek jera para pelakunya.

"Pada awalnya kami sangat prihatin dengan proses penyelesaian kasus pemerkosaan terhadap anak usia 15 tahun yang berakhir damai setelah proses mediasi oleh LSM. Proses damai yang terjadi dalam kasus kekerasan seksual menciderai rasa keadilan korban. Untuk itu, kami memberikan apresiasi kepada Polres Brebes dan pihak-pihak terkait yang sudah menangkap enam terduga pelaku pemerkosaan untuk bisa diproses secara hukum," ujar Menteri PPPA, Kamis (19/1/2023).

Ia mengatakan, pada UU Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pasal 23 menegaskan tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

Lebih lanjut, pada pasal 76D UU 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, jo pasal 6 Ayat (1) jo pasal 7 UU Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menegaskan persetubuhan terhadap anak atau pelecehan seksual secara fisik terhadap anak, bukanlah delik aduan, tetapi delik biasa.

"Berpedoman pada kedua UU Perlindungan Anak dan UU TPKS tersebut, polisi dapat memproses informasi adanya kasus kekerasan seksual terhadap anak, tanpa harus menunggu adanya laporan dari pelapor atau korban kepada Polisi," jelas Menteri PPPA.

Berdasarkan informasi yang diterima Kemen PPPA, proses damai antara keluarga korban dan keluarga enam terduga pelaku dilakukan melalui mediasi di rumah kepala desa. Surat damai yang dihasilkan dari mediasi tersebut, berisi perjanjian bahwa korban tidak akan melaporkan peristiwa tersebut ke Polisi, dan sebagai imbalannya korban mendapat sejumlah uang dari enam terduga pelaku. Namun demikian informasinya korban tidak menerima utuh dari jumlah dana yang telah disepakati.

Setelah mendapat laporan kasus di Brebes, Kemen PPPA segera berkoordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Jawa Tengah, dan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3KB) Kabupaten Brebes untuk memastikan agar kasusnya segera ditangani oleh Polisi.

"Dinas sudah melakukan advokasi kepada keluarga korban, namun tetap menolak untuk melaporkan ke polisi, karena menganggap sudah selesai dengan kesepakatan damai," tutur Menteri PPPA.

Ia juga menegaskan walaupun ada lima pelakunya yang berusia anak, proses penanganan hukumnya harus tetap berjalan dengan mengacu pada UU Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).

"UU SPPA sudah mengatur dengan tegas dan jelas proses penanganan anak yang berkonflik dengan hukum serta sanksi yang dapat diberikan baik berupa pidana maupun tindakan," kata Menteri PPPA.

Akan tetapi, UU SPPA tegas menyebut anak yang berkonflik dengan hukum apabila telah berumur 12 tahun dan belum berumur 18 tahun. Lebih lanjut ditegaskan bahwa anak dapat dipidana penjara apabila telah berusia 14 tahun. Namun demikian sesuai pasal 79 UU SPPA, minimum khusus pidana penjara tidak berlaku terhadap anak (ayat 3). Ketentuan mengenai pidana penjara dalam KUHP berlaku juga terhadap Anak sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini (ayat 4).

Terhadap satu pelaku berusia dewasa, dapat diancam pidana sesuai pasal 81 ayat (1), (3) dan (6) UU No.17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.

"Kemen PPPA akan terus memantau proses penanganan kasus ini, dan khusus untuk penanganan anak korban, kami akan memastikan pelaksanaan perlindungan khusus anak bersama dengan Pemerintah Daerah dengan melakukan pendampingan pemulihan psikis dan pemenuhan hak korban lainnya. Seluruh penanganan kasus ini, termasuk korban dan pelaku usia anak seharusnya selalu mengedepankan kepentingan terbaik anak," tutur Menteri PPPA.

Menteri PPPA juga terus menghimbau kepada masyarakat untuk berani bersuara dan melaporkan kekerasan yang dialami, dilihat, ataupun didengar.

"Bagi masyarakat yang mendengar, melihat, atau mengetahui adanya kekerasan dapat melaporkannya ke hotline layanan pengaduan Kemen PPPA, yaitu Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) melalui Call Center 021-129, atau WhatsApp 08111-129-129," imbuhnya.(sf)