Izinkan ASN Poligami, Aktivis Perempuan: Diskriminatif Terhadap Perempuan
Pemprov DKI Jakarta baru saja mengeluarkan pergub baru terkait pemberian izin perkawinan dan perceraian bagi Aparatur Sipil Negara (ASN). Salah satunya dengan diizinkan berpoligami dalam kondisi tertentu.
Aktivis Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika Pratiwi mengatakan tindakan poligami sangat merugikan perempuan. "Isu poligami ini sudah seringkali muncul dan merugikan perempuan," kata Ika.
Diketahui, dalam Pasal 4 ayat (1) diatur sejumlah persyaratan untuk suami berpoligami, yakni istri tidak dapat menjalankan kewajibannya. Diantaranya, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau istri tidak dapat melahirkan keturunan setelah sepuluh tahun menikah.
Menurut Ika, kehadiran pendamping kedua (istri kedua) dalam berumah tangga akan berpotensi melanggengkan kekerasan terhadap perempuan. "Di dalam perkawinan ada juga keinginan mewujudkan relasi dan harmonis, tentunya ini akan bertolak belakang," ujar Ika, menjelaskan.
Dalam aturan yang dibentuk oleh Pemprov DKI Jakarta, perizinan ASN berpoligami justru akan menghindarkan tindakan menikah siri. Meskipun demikian, cara ini dinilai keliru karena kebijakan poligami sangat merugikan perempuan.
Sebelumnya, Indonesia meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) pada 24 Juli 1984. Melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984, Konvensi ini menegaskan prinsip-prinsip non-diskriminasi bagi perempuan dan kesetaraan dalam perkawinan.
"Ini justru bertentangan dengan kebijakan yang sudah diatur oleh pemerintah sebelumnya. Sebuah kebijakan yang lebih menghargai perempuan," ujarnya, menerangkan.
Dalam peraturan tersebut, lanjut dia, kesetaraan dan pernikahan dan hubungan keluarga menjadi hal yang penting. Artinya, adanya kesataraan perempuan dan laki-laki di dalamnya.
"Karena spiritnya pernikahan itu menjadi ruang tanpa kekerasan. Sedangkan dalam pasal 4 tersebut sangat bertentangan dengan spirit ini," katanya.
Ika meminta Pemprov DKI Jakarta dapat mempertimbangkan kembali pergub yang telah diterbitkan. Jangan sampai aturan tersebut merugikan kaum perempuan.
Ika juga mengatakan bahwa aturan tersebut lebih baik dihapuskan, karena sifatnya tidak urgent. Ia menyarankan agar pemerintah lebih fokus dalam mengadakan pelatihan atau pendidikan bagi ASN.
"Saya pikir justru akan lebih bermanfaat kalau Pemprov DKI Jakarta mempromosikan tentang pentingnya kesetaraan gender. Sehingga ada upaya diskusi dan membangun konstruksi yang positif bersama," ucap Ika. (*)