Evita Nursanty Menyoroti Pemidanaan UMKM Gara-Gara Label Produk
Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty, menyampaikan keprihatinan atas kasus hukum Toko Mama Khas Banjar. Pemilik toko dipidana karena tidak mencantumkan label dan tanggal kedaluwarsa produk.(5/5/25).
“Saya sangat prihatin. Pendekatan yang digunakan justru mematikan UMKM, bukan membinanya,” kata Evita, Sabtu (3/5).
Evita menyayangkan pendekatan represif yang ditempuh aparat tanpa memberikan ruang pembinaan terlebih dahulu. Usaha tersebut akhirnya tutup dan keluarganya mengalami tekanan berat.
“UMKM seharusnya dibina, bukan langsung diproses pidana,” ujar Evita. Ia mendorong negara hadir secara bijak.
Ia menegaskan ekonomi kerakyatan harus dirasakan semua pelaku usaha, termasuk skala mikro dan kecil. “Kita bicara ekonomi Pancasila, tapi praktiknya jauh dari semangat itu,” ucapnya.
Evita mengingatkan bahwa aparat hukum pernah menyepakati pendekatan berbasis restorative justice untuk pelanggaran administratif UMKM. Prinsip ini menekankan pembinaan, bukan penindakan keras.
“Sudah ada MoU-nya. Jadi mengapa pendekatannya represif terhadap pelanggaran seperti label?” tanya Evita dengan nada heran.
Menurutnya, pelanggaran seperti label dan izin edar cukup diselesaikan dengan edukasi dan pembinaan. “Pelaku UMKM sering tidak paham regulasi, jadi perlu disosialisasikan lebih luas,” katanya.
Evita mencontohkan pemilik Mama Khas Banjar, Firly Norachim, yang mengaku tidak tahu aturan label. Ia bahkan terkejut saat petugas datang dan menyita barang dagangannya.
“Tidak pernah ada teguran sebelumnya dari dinas terkait,” ujar Firly seperti dikutip Evita. Komunikasi Firly dengan dinas UMKM dan Perikanan selama ini juga berjalan baik.
Evita menilai pendekatan hukum seperti itu tidak adil dan bisa berdampak luas. “Ini bisa bikin UMKM lain takut memulai usaha,” ucapnya.
Ia menegaskan bahwa penegakan hukum harus tetap berjalan, tetapi dengan pendekatan manusiawi dan adil. “Restorative justice bukan berarti lunak, tapi bijak,” jelas Evita.
Evita juga meminta UU Perlindungan Konsumen dibaca utuh sesuai asas manfaat dan keadilan. “Pasal 8 harus dibaca bersama asas yang membentuk UU tersebut,” katanya.
Ia juga mengutip PP Nomor 29 Tahun 2021 yang menekankan sanksi administratif untuk pelanggaran label. Regulasi ini menitikberatkan pada edukasi dan penyebaran informasi, bukan pemidanaan.
Hal serupa juga tertuang dalam UU Pangan, karena produk UMKM termasuk kategori pangan olahan. Sanksi administratif harus menjadi langkah awal sebelum pendekatan pidana diambil.
“Negara harus hadir dengan perlindungan hukum yang adil dan berperikemanusiaan,” kata Evita. Ia juga mendorong semua instansi lebih aktif memberikan edukasi pada pelaku UMKM.(*)