16 Tewas, 400 Terluka di Kenya: Aksi Damai Justru Kembali Memakan Korban
Kenya: Protes nasional untuk mengenang korban tahun lalu berujung bentrok brutal. Polisi kembali dituding sebagai pelaku utama kekerasan.
Aksi protes nasional yang digelar pada Rabu (25/6) di berbagai kota di Kenya untuk mengenang para korban kekerasan polisi tahun lalu justru berubah menjadi tragedi baru. Sedikitnya 16 orang tewas dan lebih dari 400 lainnya terluka dalam bentrokan antara demonstran dan aparat keamanan.
Berdasarkan data yang diverifikasi oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Kenya, sebagian besar korban tewas akibat tembakan polisi. Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Amnesty Kenya, Ir?ng? Houghton, dalam pernyataannya kepada media internasional.
“Sebagian besar korban jiwa adalah akibat tindakan brutal aparat. Ini tragedi yang berulang,” ujar Houghton, dikutip dari The Guardian
Aksi Mengenang Justru Picu Luka Baru :
Ribuan warga turun ke jalan membawa foto-foto korban protes 2023 dan bendera Kenya, menuntut keadilan atas lebih dari 60 warga yang tewas tahun lalu ketika massa mencoba menerobos parlemen saat pembahasan kenaikan pajak.
Namun, aksi damai itu berubah menjadi medan pertempuran jalanan. Polisi menembakkan gas air mata, peluru karet, dan water cannon, sementara demonstran membalas dengan lemparan batu dan pembakaran ban di sejumlah titik di Nairobi, Mombasa, Kisumu, hingga Nakuru.
Rumah Sakit Nasional Kenyatta di Nairobi menerima 56 pasien dengan luka akibat peluru karet, menurut laporan Reuters. Sedangkan delapan orang dilaporkan luka tembak dan 83 lainnya mengalami cedera serius, menurut gabungan kelompok sipil.
Sensor Media & Pengetatan Keamanan :
Pemerintah Kenya melalui Otoritas Komunikasi Nasional memerintahkan media untuk menghentikan siaran langsung protes, dan menurunkan beberapa saluran seperti NTV, KTN, K24, dan Kameme dari udara. Langkah ini dinilai sebagai bentuk pembungkaman kebebasan pers oleh sejumlah pengamat.
Sementara itu, akses ke gedung parlemen dan kediaman Presiden William Ruto diblokade menggunakan kawat berduri, dan jalan utama di pusat kota disterilkan dari kendaraan umum.
Suara Rakyat: Dari Duka Menuju Perlawanan:
Presiden Law Society of Kenya (LSK), Faith Odhiambo, mengungkapkan ironi pahit dari tragedi ini:
“Kita menghadapi paradoks: semakin banyak nyawa melayang justru saat rakyat memperjuangkan keadilan atas kematian sebelumnya,” tulisnya di X (sebelumnya Twitter).
Seorang pengunjuk rasa muda, Stephanie Marie, hadir di Nairobi demi mengenang guru Albert Ojwang, yang tewas dalam tahanan polisi setelah mengkritik pejabat senior. Ia berkata:
“Bisa jadi adikku, bisa jadi sepupuku, bisa siapa saja. Mereka hanya anak-anak biasa yang ingin hidup layak,” katanya, dikutip Al Jazeera.
Sementara Innocent, demonstran lain, mengenang temannya yang tewas tahun lalu.
“Kami tak bisa dihentikan. Kami lawan demi hak kami. Kami tak mau dipimpin oleh rezim yang kejam,” tegasnya.
Penyebab Akar: Ketimpangan Sosial & Politik yang Membara :
Kenya dalam beberapa tahun terakhir dilanda krisis kepercayaan terhadap pemerintahan akibat korupsi, pengangguran tinggi, kenaikan pajak, dan gaya hidup mewah elite politik. Dua insiden terbaru—kematian Ojwang dan penembakan pedagang jalanan Boniface Kariuki—memicu gelombang amarah generasi muda.
Penutup: Kenya di Persimpangan:
Seruan untuk dialog nasional menguat, namun tindakan keras aparat dan sensor media justru memperburuk krisis legitimasi pemerintahan Ruto. Jika pemerintah tidak segera membuka ruang dialog, kekerasan bisa menjadi pola baru yang menghantui Kenya dalam jangka panjang.
“Kami berdoa untuk bangsa ini, semoga ada jalan keluar dari kebuntuan politik,” tulis pernyataan gabungan LSK, Police Reforms Working Group, dan Kenya Medical Association.(*)

