Hari ini
Cuaca 0oC
Headline News :

Gencatan Senjata Thailand-Kamboja Resmi Berakhir

Karawang : Hubungan antara Thailand dan Kamboja, dua negara tetangga di Asia Tenggara, kembali menegang setelah munculnya bentrokan baru di sepanjang perbatasan yang disengketakan pekan ini. 

Tentara Kamboja menjaga konvoi di provinsi Preah Vihear dekat perbatasan Thailand pada bulan November (Foto : Agence Kampuchea Press/AFP)

Eskalasi ini terjadi setelah Bangkok mengumumkan penangguhan penghormatan terhadap ketentuan pakta gencatan senjata yang disepakati kedua pihak pada akhir Juli lalu.

Bentrokan antara pasukan Thailand dan Kamboja pada hari Rabu (12/11) terjadi hanya dua hari setelah seorang tentara Thailand kehilangan kakinya akibat ranjau darat saat berpatroli di perbatasan. Pemerintah Thailand menuduh Kamboja "menanam ranjau darat baru di wilayah tersebut" tuduhan yang dibantah keras oleh Phnom Penh.

Keputusan Thailand untuk menangguhkan kesepakatan gencatan senjata, yang dikenal sebagai Kuala Lumpur Peace Accords, secara substansial menggarisbawahi rapuhnya perdamaian yang tercipta. 

Kesepakatan itu sempat memberikan ketenangan pasca lima hari pertempuran lintas batas pada Juli yang melibatkan pasukan darat, artileri, dan jet, yang menewaskan sedikitnya 48 orang dan membuat sekitar 300.000 warga sipil mengungsi sementara.

Mengapa Ketegangan Tetap Tinggi?

Pakta tersebut, yang ditandatangani di sela-sela KTT ASEAN di Malaysia pada Oktober di hadapan Presiden AS Donald Trump, dikritik karena gagal menyelesaikan akar permasalahan sengketa teritorial yang pahit.

Tita Sanglee, seorang ahli Thailand di ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura, mengatakan kepada DW bahwa kesepakatan damai tersebut "selalu berada di landasan yang goyah, sebagian besar dibentuk oleh kepentingan eksternal dan hanya ditandai oleh pembangunan kepercayaan performatif."

"Tidak ada hal substantif yang dilakukan untuk mengatasi perselisihan teritorial yang mendasarinya," tambah sang ahli.

Apakah Konflik Menyebar?

Insiden penembakan pada hari Rabu, yang dilaporkan menewaskan satu pria Kamboja dan melukai tiga lainnya, terjadi di dekat desa Prey Chan di provinsi Banteay Meanchey, Kamboja. Sebelumnya, desa yang sama menjadi lokasi konfrontasi sengit non-letal antara personel keamanan Thailand dan penduduk desa Kamboja pada bulan September.

Perdana Menteri Kamboja Hun Manet mengatakan insiden terbaru itu terjadi setelah pasukan Thailand terlibat dalam "berbagai tindakan provokatif selama berhari-hari dengan tujuan memicu konfrontasi."

Sebaliknya, Bangkok menuduh tentara Kamboja menembak ke sebuah distrik di provinsi Sa Kaeo, Thailand timur, dan pihak Thailand "melepaskan tembakan peringatan sebagai respons."

Thitinan Pongsudhirak, profesor hubungan internasional di Chulalongkorn University di Bangkok, menilai penembakan itu menunjukkan bahwa "konflik sedang menyebar, meluas." Ia meyakini bahwa kesepakatan gencatan senjata itu "pada hakikatnya sudah berakhir dan memang lemah sejak awal."

Sentimen Nasionalis dan Pemilu

Ketegangan yang ada dan keluhan yang mendasar, menurut Ou Virak, pendiri dan presiden Future Forum, sebuah lembaga think tank yang berbasis di Phnom Penh, "tentu tidak akan mereda."

Ia menekankan bahwa pemilihan umum Thailand yang diperkirakan akan diadakan awal tahun depan dan meningkatnya semangat nasionalistik di Kamboja akan menyulitkan kedua belah pihak untuk meredakan ketegangan.

"Hasil terbaik kemungkinan besar adalah kelanjutan dari status quo selama tiga atau empat bulan ke depan," kata Virak kepada DW.

Sengketa perbatasan kedua negara telah berlangsung puluhan tahun, berakar pada peta tahun 1907 yang dibuat saat Kamboja di bawah kekuasaan kolonial Prancis, yang dianggap tidak akurat oleh Thailand. 

Perebutan klaim atas beberapa kuil di perbatasan, terutama kuil bersejarah Preah Vihear, juga memicu perselisihan, yang puncaknya terjadi pada tahun 2011.

Ou Virak menyarankan, untuk perdamaian yang langgeng, Thailand dan Kamboja perlu melakukan demarkasi ulang dan menerima perbatasan.(*)

Hide Ads Show Ads