Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Republik Indonesia, Wikan Sakarinto, menegaskan pemerintah tidak akan mengeluarkan uang bantuan sepeserpun untuk sekolah kalau guru dan kepala sekolah tidak mau merubah mindset-nya dari pola-pola lama ke pola baru, sehingga mencipatakan murid yang tidak hanya pandai hard skill tapi juga padai di soft skill.

Foto ilustrasi

"Kalau dulu kita mengeluarkan triliunan rupiah untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), kita berikan uang bantuan untuk bangun gedung dan beli alat kemudian ditinggalkan, tapi sekarang kebijakan Kemendikbudristek sudah berubah tidak akan memberi bantuan uang sepeserpun kepada sekolah kalau guru dan kepala sekolahnya yang tidak mau merubah mindset-nya," kata Wikan Sakarinto dalam acara WeFeatureForum di Jakarta, Sabtu (30/10/2021).

Menurutnya perubahan mindset diukur dari bagaimana kepala sekolahnya mampu bekerja sama dengan industri, bagaimana roadmap-nya, blue print-nya dan seberapa banyak sekolah melakukan perjanjian kerja sama (MoU) dengan industri. Artinya kepala sekolah dalam kondisi the power off kepepet agar kepala sekolahnya mau berubah.

"Dulu anak SMK mampu membuka panel dan mencopot kabel dengan mahir, tapi kalau disuruh bicara, buat laporan dia bingung, padahal SMK itu sudah bagus bangunan dan peralatannya, berarti ada yang salah dengan kurikulumnya karena belum mampu membuat soft skill dan karakter, masih terlalu pentingkan hard skill (mental tukang)," ujarnya.

Dia menambahkan, sekarang SMK harus bisa merubah mindset-nya tidak lagi menghasilkan tukang (hard skill) yang tidak mampu mempunyai negosiasi, komunikasi, dan diplomasi, tapi juga harus mampu menciptakan calon pemimpin dan entrepreneurship yang juga bisa nukang.

Saat ini SMK ada 14.000, mungkin kalau diklasifikasin untuk SMK unggulan sudah 1.000 yang sudah ditraining tiap tahunnya, jadi setiap tahun harus bisa mentraining guru dan kepala sekolah untuk merubah mindset, dan mereka harus di latih (magang) di industri. Meski kita harus berinvestasi yang dinilai kecil tapi dilihat dari hasilnya yang sangat luar biasa. Mereka bisa melakukan best learning.

"Kalau dulu saya tanya mereka sudah belajar best laerning contohnha murid sudah melakukan cara-cara ngelas, kemudian hasilnya lasnya kemana? ya di buang kan cuma latihan, ini adalah mindset yang salah oleh gurunya, itu bukan best learning tapi best learning bohong-bohongan. Yang benar adalah kalau melakukan pelajaran las hasil lasnya itu bisa bermanfaat buat industri," tegasnya.

Wikan mencontohkan, SMK animasi jangan sampai muridnya membuat animasi dan setelah itu hasilnya di buang, harus ada pesanan dari perusahaan Bank yang mau bekerja sama membuatkan animasi untuk iklan produknya, kemudian anak-anak diminta membuatkan produk animasi itu kemudian diperlombakan, produk animasi mana yang bagus buat perusahaan tersebut kemudian dijadikan pemenangnya, sehingga ada komukasi antar perusahaan bank dengan sekolah, sehingga soft skill guru dan muridnya ada.

"Sehingga dibutuhkan pola-pola guru yang berubah, dan kita jadikan kepala sekolah itu dipaksa untuk menjadi pimpinan perushaan (CEO,) dan saat ini sudah 40.000 guru yang kita latih tiap tahunnya, dan ada 14.000 kepala sekolah yang sudah kita training, dan di harapkan tahun depan sudah ada 15.000 sampai dengan 20.000 kepala sekolah agar bisa berubah mindsetnya sehingga dia bisa mengajar dan mengajak kepala sekolah lainnya," tutupnya. (Of)