Pemerintah Indonesia terus memperbarui teknologi, khususnya dalam hal kebencanaan. Langkah itu penting agar kebijakan mitigasi bencana bisa ditentukan dengan tepat. Pembaruan teknologi itu juga penting untuk menentukan aksi-aksi adaptasi dalam penanggulangan bencana.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, mengatakan apa yang dilakukan BMKG dalam pengurangan risiko bencana tentunya berbasis teknologi. Misalnya dalam melakukan peringatan dini.

Sebagai contoh adalah teknologi untuk memonitor gempa bumi, teknologi untuk peringatan dini tsunami, teknologi untuk melakukan monitoring terhadap cuaca, termasuk untuk memprediksi cuaca.

BMKG merupakan suatu lembaga yang bertanggung jawab untuk mengawal salah satunya adalah keselamatan dari bencana. Selain itu, BMKG juga mengawal kesejahteraan masyarakat melalui informasi cuaca, iklim, gempa dan tsunami. Kesemuanya itu tentunya perlu didukung teknologi yang mumpuni.

Namun, lanjut Dwikorita, berdasarkan pengalaman, teknologi belum menjamin. Meskipun teknologi semakin canggih, semakin ditingkatkan, kalau di sisi hilir belum siap maka peringatan yang diberikan BMKG tidak akan optimal dalam mengurangi risiko bencana.

"Jadi, flow informasi dari BMKG untuk sampai ke masyarakat itu dilakukan secara tidak langsung. Informasi dari BMKG seketika masuk ke pemerintah daerah. Sedangkan yang beranggung jawab menyebarkan informasi ke masyarakat menurut peraturan adalah pemerintah daerah. Iinformasi BMKG itu masuk ke pemerintah daerah, dan pemerintah daerah yang kemudian menyebarkan ke masyarakat. Karena yang mempunyai otoritas mengendalikan rakyatnya bukan BMKG," ujar Kepala BMKG di sela-sela perhelatan 7th Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR 2022) di Bali pada Jumat (27/5/2022).

Akan tetapi, Dwikorita menambahkan, praktik dilapangan masih ada beberapa pemerintah daerah yang belum berhasil menyebarluaskan informasi tersebut sehingga masyarakat ada yang tidak mendapatkan informasi untuk segera evakuasi saat terjadi bencana. Namun, ada juga provinsi yang sangat bagus. misalnya di Bali, DIY, Jawa Tengah, Jawa Barat itu sudah bagus, tapi masih ada beberapa wilayah yang belum siap berjaga 24 jam.

"Inilah yang menjadi pekerjaan rumah, harus digarap secara bersama sehingga kami selalu memperkuat pemerintah daerah agar mampu menyebarkan informasi," ujar Dwikorita.

Menurutnya, hal yang menyebabkan terputusnya informasi bencana dari BMKG ke masyarakat penyebabnya macam-macam. Pertama, tidak adanya pegawai yang bertugas menjadi petugas jaga, dan petugas jaga tidak bisa jaga selama 24 jam. "Jadi kalau soal ketersediaan pegawai atau petugas jaga yang harus jaga 24 jam, tentu itu bukan ranah BMKG, " tegas Dwikorita.

Kedua, infrastruktur komunikasi di daerah-daerah itu masih ada yang tidak memadai. Jadi, informasi sebenarnya sudah sampai ke pemerintah daerah, tapi pemerintah daerah tidak bisa menyebarluaskan karena kendala topografi dan kendala infrastruktur.

Ketiga, adalah kendala infrastruktur akibat terdampak bencana. Misalnya kendala infrastruktur saat terjadi gempa dan akan terjadi tsunami. Informasi yang dikirimkan BMKG ke pemerintah daerah tidak dapat disebarkan karena semua infrastruktur yang semula sudah disiapkan seketika itu kolaps karena terdampak bencana.

"Jadi, yang ketiga itu infrastrukturnya bukan tidak ada. Infrastruktur sudah ada, bahkan telah siap, tapi mungkin rusak atau hancur karena terkena gempa. Contoh di Palu, infrastrukturnya ikut roboh sehingga informasi yang sudah sampai ke pemerintah daerah tidak bisa disebarkan ke lokasi bencana karena jalur komunikasi sudah terputus," jelasnya.

Keempat adalah masyarakatnya. Di beberapa daerah, ada masyarakat yang belum sepenuhnya mengerti apa makna informasi dan bagaimana menyikapinya sehingga BMKG bersama pemerintah daerah terus bersinergi, terutama untuk mengedukasi masyarakat agar masyarakat yang menerima informasi bisa paham dan bisa melakukan aksi dini.

"Tantangan dan kendala seperti itu perlu dibahas secara bersama-sama agar terwujud zero victim bilamana terjadi bencana," katanya.

Dalam pertemuan GPDRR 2022, BMKG menjadi bagian dari banyak elemen yang terlibat dalam pengurangan risiko bencana. baik secara lokal, nasional ataupun global. Contoh konkretnya, adalah BMKG memberikan informasi peringatan dini. Misalnya, peringatan dini cuaca ekstrem, peringatan dini anomali iklim, peringatan dini gelombang tinggi, juga tsunami. Dengan dukungan teknologi, BMKG memberikan informasi peringatan dini agar masyarakat dan pihak-pihak terkait bisa segera melakukan respon secara cepat dan tepat .

Dalam GPDRR itu juga BMKG berperan memberikan sumbangan pemikiran terkait dengan early warning and early action. Sumbangan pemikiran itu berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dialami BMKG selama bertahun-tahun.

"Jadi, ada pengalaman kegagalan, pengalaman sukses, dan pengalaman-pengalaman yang dipandang perlu untuk semakin menigkatkan pengurangan risiko bencana," kata Dwikorita.(nas)