Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan dua tersangka kasus dugaan suap terkait proyek pembangunan infrastruktur di Provinsi Papua.


Lukas Enembe

"Menindaklanjuti masuknya laporan masyarakat yang selanjutnya dilakukan pengumpulan berbagai informasi dan data valid sehingga ditemukan adanya bukti permulaan yang cukup, KPK melakukan penyelidikan dan berlanjut ke tahap penyidikan dengan menetapkan dan mengumumkan tersangka," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis.

Dua tersangka itu masing-masing Gubernur Papua periode 2013-2018 dan 2018-2023 Lukas Enembe (LE) dan pihak swasta/Direktur PT Tabi Bangun Papua (TBP) Rijatono Lakka (RL).

Alex mengatakan untuk kebutuhan penyidikan, tim penyidik menahan tersangka RL selaku pemberi suap LE selama 20 hari pertama terhitung mulai 5 Januari 2023 sampai dengan 24 Januari 2023 di Rutan KPK pada Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.

Sebelum ditahan, KPK telah memeriksa tersangka RL terlebih dahulu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis. Sementara tersangka LE belum dilakukan penahanan oleh KPK.

Sementara itu KPK menduga Gubernur Papua Lukas Enembe (LE) menerima uang suap sekitar Rp1 miliar terkait proyek infrastruktur di Provinsi Papua.

KPK telah menetapkan LE bersama Direktur PT Tabi Bangun Papua (TBP) Rijatono Lakka (RL) sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait proyek pembangunan infrastruktur di Provinsi Papua.

"Tersangka RL diduga menyerahkan uang pada tersangka LE dengan jumlah sekitar Rp1 miliar," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat membacakan konstruksi perkara yang menjerat keduanya sebagai tersangka dalam jumpa pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis. Alex menjelaskan bahwa pada 2016, tersangka RL mendirikan PT TBP yang bergerak di bidang konstruksi. RL menjabat direktur sekaligus pemegang saham di perusahaan tersebut.

"Untuk proyek konstruksi, perusahaan tersangka RL diduga sama sekali tidak memiliki pengalaman karena sebelumnya adalah perusahaan yang bergerak di bidang farmasi," ungkap Alex.

Selanjutnya mulai 2019-2021, tersangka RL mengikuti berbagai proyek pengadaan infrastruktur di Pemprov Papua yang saat itu jabatan Gubernur Papua dijabat oleh tersangka LE.

"Untuk bisa mendapatkan berbagai proyek tersebut, tersangka RL diduga melakukan komunikasi, pertemuan hingga memberikan sejumlah uang sebelum proses pelelangan dilaksanakan sehingga harapannya bisa dimenangkan," kata Alex.

Adapun pihak-pihak yang ditemui tersangka RL, di antaranya tersangka LE dan beberapa pejabat di Pemprov Papua.

"Diduga kesepakatan yang disanggupi tersangka RL untuk diberikan yang kemudian diterima tersangka LE dan beberapa pejabat di Pemprov Papua, yaitu adanya pembagian persentase 'fee' proyek hingga mencapai 14 persen dari nilai kontrak setelah dikurangi nilai PPh dan PPN," kata dia.

KPK membeberkan paket proyek yang didapatkan oleh tersangka RL, yakni proyek "multiyears" peningkatan jalan Entrop-Hamadi dengan nilai proyek Rp14,8 miliar, proyek "multiyears" rehab sarana dan prasarana penunjang PAUD Integrasi dengan nilai proyek Rp13,3 miliar, dan proyek "multiyears" penataan lingkungan "venue" menembak "outdoor" AURI dengan nilai proyek Rp12,9 miliar. "Setelah terpilih untuk mengerjakan proyek dimaksud, tersangka RL diduga menyerahkan uang pada tersangka LE dengan jumlah sekitar Rp1 miliar," ujar Alex.

KPK juga menduga tersangka LE telah menerima pemberian lain sebagai gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya hingga jumlahnya miliaran rupiah. Saat ini, KPK sedang mengembangkan lebih lanjut soal penerimaan gratifikasi itu.

Tersangka LE sebagai penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Sementara tersangka RL sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) atau Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. (Ant)