Alih-alih petugas Ad Hoc, Jabatan Panitia Pemungutan Suara (PPS) Desa yang hari ini, Selasa (24/1/2023) di Lantik sebanyak 927 orang di Hotel Mercure Karawang, sebagian besar di isi oleh warga berstatus sebagai "Perangkat Desa". Meskipun sempat Kontroversi karena ada larangan dari Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) yang di dasarkan pada Pasal 21 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, namun para perangkat desa tetap lolos dan andil bagian sebagai penyelenggara Pemilu 2024 di tingkat desa.
Foto : Prosesi Pelantikan PPS Se Kabupaten Karawang, Selasa (24/1/2023)


"Tugas baru, semangat juga baru, bismillah. Kita di percaya karena dianggap mampu dan kompeten dalam seleksi tahapannya dan tidak ada persoalan rangkap atau pengabaian tugas nantinya juga sebagai pegawai desa. Lumayan, tambahan honor Rp1,2 jutaan perbulan," Ungkap salah seorang pegawai desa usai pelantikan PPS di Karawang.

Kades Pasirjaya Kecamatan Cilamaya Kulon Abdul Hakim alias Lurah Wakzie Saglak saat disinggung apakah perangkat desa mengantongi surat izin saat mendaftar menjadi PPS kepadanya sebagai pimpinan, ia mengaku tidak merekomendasikan atau menerbitkan surat izin apapun.
Cuma memang, ketika diambilnya pegawai desa nyambi jadi PPs, kemungkinan karena kadang aparatur desa dianggap lebih tahu karakteristik dan kependudukan di lapangan desa, bahkan lebih akrab unsur desanya dibanding yang lain.

"Gak merekom apapun sebagai pimpinan mah, tapi ya itu, pegawai desa jadi PPs memang sebuah pengakuan yang dianggap lebih siap kawal pemilu di lapangan, meskipun Nyambi, selama tugasnya jalan, tak jadi soal, " Katanya.

Pemantau Pemilu Demokrasi (PDP) Karawang Ono Rustono mengatakan, rekrutmen dan seleksi PPs yang dilakukan KPUD Karawang melalui PPK cenderung krisis dan tidak menghindari dampak negatifnya. Pertama, banyak yang ikut seleksi, tapi justru yang diterima mereka yang masih berstatus pegawai desa dengan jabatan sekelas Kepala Urusan, Kadus, hingga Sekretaris Desa yang idealnya di hindari, padahal jelas DKPP sempat melarangnya, apalagi yang rangkap dengan dugaan dobel gaji yang sumbernya dari pemerintah. 

"Jadi kesannya seperti gak ada orang lagi, atau memberi kesempatan pada yang lain. Padahal pegawai desa itu kerjaannya saat ini cukup banyak dengan segudang aplikasi dan pelaporan yang serba online, " Katanya.

Sebelumnya, Ketua DKPP, Heddy Lugito mengatakan, aturan perundangan tidak memperbolehkan hal tersebut, karena petugas ad hoc pemilu tidak boleh merangkap pekerjaan yang digaji lewat APBN. 
Adanya temuan guru honorer dan perangkat desa yang direkrut menjadi petugas ad hocpemilu, disebut menyalahi aturan. Hal ini tertuang dalam Pasal 21 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

"Teman-teman Bawaslu maupun KPU kabupaten tidak menyadari itu. Misalnya guru honorer masuk sebagai penyelenggara ad hoc, Panwascam, atau PPK," ujar Ketua DKPP Heddy Lugito dalam jumpa pers akhir tahun, Sabtu (31/12/2022) seperti di kutip salah satu media online.

Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menegaskan bahwa perangkat desa, guru honorer, hingga pendamping Program Keluarga Harapan (PKH) diperbolehkan menjadi petugas ad hoc, seperti Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), atau Kelompok Penyelenggaraan Pemungutan Suara (KPPS).

“Yang tidak boleh itu dobel gaji. Aturan kita tentang itu kan ada yang namanya gaji, ada yang namanya honor. Anggota PPK, PPS, dan KPPS itu kan tidak menerima gaji, terimanya honor,” ujar Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari saat ditemui di kantor PBNU, Rabu (4/1/2023).

Hasyim merasa bahwa petugas ad hoc hanya perlu cuti dari jabatannya sebelum dapat melamar, bukan mengundurkan diri. Ia mengungkit sifat pekerjaan ad hoc, yang disebut hanya mengawal pemilu untuk sementara.

"Setahu saya tidak harus mundur ya, karena untuk bekerja di wilayah ruang lingkup desa. Ketika ada perangkat dan seterusnya menjadi anggota PPS, menjadi anggota KPU, itu kan bagian dari layanan, melayani pemilih,” ungkap Hasyim. (Red/rls)