Dalam kasus kekerasan seksual kepada anak yang dilakukan oleh oknum perwira polisi di Palangka Raya, pihak keluarga telah menyampaikan kekecewaannya atas putusan hakim.


Selain karena pelaku merupakan anggota penegak hukum, kekerasan seksual dilakukan di lingkungan Polda Kalteng dimana kantor polisi semestinya menjadi tempat yang aman. Terlebih lagi oknum polisi berpangkat AKP itu hanya dijatuhi hukum dua bulan penjara dan denda Rp5 juta.


Terlepas dari hal itu, pelaku juga bukan baru kali ini saja bersentuhan dengan hukum karena pernah terlibat pada kasus yang lainnya. Pihak keluarga juga mengaku pernah mendapat intimidasi dari pihak tertentu terkait kasus ini. Kedua korban pun mengalami traumatis yang ikut berdampak pada keluarganya.


Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto mengusulkan agar dilakukan eksaminasi terhadap putusan hakim dalam kasus kekerasan seksual di Palangka Raya ini. Eksaminasi sendiri merupakan pengujian atau pemeriksaan terhadap surat dakwaan (jaksa) atau putusan pengadilan (hakim) yang sering juga disebut dengan istilah legal annotation, yaitu pemberian catatan-catatan hukum terhadap putusan pengadilan maupun dakwaan jaksa.

Foto : Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto

“Tidak ada salahnya melakukan eksaminasi putusan atas permintaan publik. Selain bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pertimbangan hukum dari hakim yang memutus perkara tersebut telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan prosedur hukum acaranya, juga untuk mengetahui apakah putusan tersebut telah menyentuh rasa keadilan masyarakat,” papar Didik.


Jika kegelisahan publik atas putusan tersebut tidak ditindaklanjuti lebih lanjut, dikhawatirkan martabat dan integritas lembaga peradilan akan tercoreng. Padahal, menurut Didik, martabat dan integritas lembaga peradilan sejatinya bersumber pada integritas dan kualitas para hakimnya. “Parameter yang terukur untuk menilai kualitas dan kompetensi hakim salah satunya adalah melalui putusannya. Dengan demikian harapannya pengawasan dan pembinaan para hakim juga bisa lebih terukur dan obyektif,” jelas Legislator dari Dapil Jawa Timur IX itu.


Didik pun menyoroti bagaimana vonis hukuman berada jauh dari tuntutan jaksa yakni menuntut terdakwa dengan pidana penjara 7 tahun. Hal ini mengingat karena putusan majelis hakim di bawah 2/3 dari tuntutan penuntut umum. “Sesuai aturan, jaksa penuntut umum harus banding karena hukuman yang dijatuhkan di bawah 2/3 dari tuntutan,” ucap Didik.


Berkaca pada realita penegakan hukum terhadap kasus-kasus kekerasan seksual yang selama ini masih kurang optimal, Didik menilai peraturan perundang-undangan yang ada saat ini belum sepenuhnya mampu merespons fakta kekerasan seksual yang terjadi dan berkembang. Baik di tingkat masyarakat, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan terhadap perkara kekerasan seksual.


Anggota Banggar DPR ini juga menilai peraturan yang eksisting selama ini masih belum memperhatikan hak korban dan cenderung menyalahkan korban. Untuk itu, Didik mendorong penegak hukum agar menerapkan UU TPKS pada setiap perkara kekerasan seksual. “Pemberlakuan UU TPKS menjadi kebutuhan mendesak agar bisa mencegah jatuhnya korban kekerasan seksual,” terangnya.


Di sisi lain, Didik mengajak seluruh elemen masyarakat mengawal upaya hukum berikutnya dalam kasus kekerasan seksual yang dilakukan oknum perwira polisi di Palangka Raya kepada dua anak di bawah umur itu. Dengan demikian, keadilan dapat ditegakkan dan diwujudkan. “Dan juga yang paling utama adalah bahwa salah satu esensi penegakan hukum kekerasan seksual adalah perlindungan terhadap korban, selain keadilan dan penghukuman terhadap pelaku,” tutup Didik. (ssb/aha/red)