Hari ini
Cuaca 0oC
Headline News :

Nelayan Galau Perahunya Tersandera Lumpur Tak Bisa Melaut

Cirebon: Sudah tiga tahun nelayan Desa Citemu, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, terpaksa pasrah menghadapi dangkalnya alur Sungai Selo Pengantin Citemu dengan lumpur yang tebal. (2/8/25).

Foto ilustrasi

Bukan karena mereka tak berupaya, namun semua jeritan tampaknya mentok di meja birokrasi.

Bahkan, surat permohonan normalisasi sungai yang ditandatangani langsung oleh Bupati Cirebon, H. Imron, pun nyatanya tak cukup ampuh untuk menggerakkan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk-Cisanggarung (Cimancis). Warga dan pemerintah desa sudah mengajukan permohonan normalisasi sungai sebanyak tiga kali: tahun 2022, 2023, dan terakhir Mei 2025. 

Namun sejauh ini, tak satu pun permintaan itu berbuah tindakan nyata. Sutirno, seorang nelayan setempat, mengaku kesulitan setiap kali hendak melaut. 

Saat malam hari waktu yang biasanya digunakan nelayan untuk berangkat, sungai dalam keadaan surut dan penuh lumpur. Akibatnya, banyak perahu yang gagal berangkat dan memilih pulang dengan tangan kosong

.“Kendalanya ya kita kalau mau melaut juga susah keluarnya, karena sungai itu setiap hari dangkal. Kalau malam, surut. Jadi banyak yang pulang lagi. Itu kendala nelayan,” ujarnya pada Rabu (30/7/2025)

Ia bahkan menyinggung soal janji dan prosedur yang terasa tak berarti. Sutirno bersama rekan-rekan nelayan pernah mendatangi pendopo bupati untuk memastikan rekomendasi resmi disiapkan. Tapi nyatanya, meskipun rekomendasi sudah dikantongi dan ditandatangani bupati, BBWS Cimancis tetap tak bergeming.“Kalau bupati saja enggak ada taringnya, apalagi nelayan. Jadi mana kesejahteraan untuk nelayan? Ini sudah tiga tahun belum ada normalisasi,” ucapnya.

Sutirno pun tak menampik bahwa situasi ini memunculkan wacana aksi protes. Ia menyebut, jika cara baik-baik tidak ditanggapi, maka rapat nelayan akan digelar untuk menyusun langkah selanjutnya. Demo pun bisa jadi pilihan.“Mungkin nanti kita akan kumpulkan nelayan rapat. Kalau pemerintah enggak ada tanggapan, bisa jadi ada demo. Nelayan ini katanya nomor satu untuk perut bangsa, tapi kok malah begini?” Katanya.

Kepala Desa Citemu, Herintiano, mengaku sudah habis akal. Ia membenarkan bahwa surat permohonan normalisasi sudah dikirim berkali-kali, baik secara tertulis maupun lisan. Bahkan, pada tahun 2022 pihaknya sempat menerima satu kali pengerukan sungai. 

Setelah itu, permohonan hanya mendapat janji, bukan aksi.“Kami sudah mengajukan setahun bisa dua sampai tiga kali ke BBWS. Tapi ya, sampai sekarang tidak ada realisasi. Hanya diminta nunggu kabar, terus begitu tiap tahun,” kata Herintiano.

Herintiano juga menjelaskan bahwa sekitar 90% warganya menggantungkan hidup dari laut. Ketika sungai dangkal, maka penghidupan mereka ikut lumpuh. Apalagi dengan kondisi ekonomi nelayan yang sedang paceklik, abainya pemerintah terhadap urusan normalisasi sungai menjadi pukulan tambahan.

Ia menyebut bahwa BBWS Cimancis pernah melakukan uji coba penyedotan lumpur di tahun 2024, tetapi hasilnya tidak jelas. Kegiatan itu terhenti tanpa kabar apakah gagal atau dibatalkan.“Kami sudah merasa lelah juga. Bahkan rekomendasi bupati pun sudah kami lampirkan. Tapi sampai sekarang belum juga ditanggapi. Padahal itu bentuk serius permohonan kami,” ujar Herintiano.

Sungai Citemu yang kini lebih mirip kolam lumpur itu membentang sekitar 500 meter dari jembatan hingga ke muara, dengan lebar rata-rata 30 meter. Namun lumpur yang menumpuk di dasarnya telah mematikan fungsi sungai sebagai jalur utama aktivitas ekonomi nelayan. Diperkirakan ada lebih dari 250 perahu aktif yang dimiliki nelayan di kawasan itu. Jika satu perahu melibatkan tiga hingga empat orang, maka ribuan warga bergantung pada kondisi sungai ini.

Persoalan ini bukan lagi soal teknis pengerukan, tapi menyangkut martabat dan keberpihakan negara terhadap rakyat kecil. Ketika jeritan nelayan tak digubris, dan surat bupati pun tak mempan, maka publik patut bertanya: siapa sebenarnya yang memiliki kuasa atas penderitaan ini? Jika nelayan sampai memilih jalan demonstrasi, maka itu bukan karena mereka haus konflik. Itu karena mereka kehabisan pilihan.

“Kami hanya ingin bisa melaut. Kami hanya ingin sungai ini berfungsi lagi. Kami tidak minta lebih,” pungkas Sutirno.(*)

Hide Ads Show Ads