Semarang - Eksekusi hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba lama tidak terdengar lagi. Jaksa Agung HM Prasetyo menjelaskan perlu kehati-hatian dalam pelaksanaannya serta ada faktor yang tidak bisa diungkapkan kepada publik.

Hal itu diungkapkan Prasetyo di gedung Widya Puraya Universitas Diponegoro, Semarang, setelah memberikan kuliah umum di Fakultas Hukum Undip. Meski demikian, Prasetyo tetap menganggap eksekusi mati penting.

"Eksekusi mati bukan sesuatu hal yang menyenangkan, tapi harus dilaksanakan. Saya tidak bisa menyampaikan terbuka di sini kenapa kok belum lagi dilaksanakan eksekusi," kata Prasetyo, Rabu (21/2/2018).



Ia mengaku cukup geregetan terhadap kasus peredaran narkoba. Berdasarkan data yang diperoleh, ujarnya, 75 persennya dikendalikan dari lembaga pemasyarakatan. Prasetyo pun menegaskan eksekusi mati tetap akan dilaksanakan namun waktunya belum bisa diungkapkan.

"Eksekusi tetap dilaksanakan, hanya waktunya yang belum bisa saya jelaskan di sini karena banyak hal lain yang jadi pertimbangan kita," tegasnya.

Pria kelahiran Tuban, Jawa Timur, itu pun menceritakan pro dan kontra hukuman mati dan beberapa pengalaman yang dialaminya dalam pelaksanaan hukuman mati. Salah satu pengalaman yang menegangkan, menurutnya, adalah ketika Mary Jane batal dieksekusi mati pada menit-menit akhir pada 29 April 2015.

"Ada cerita kasus yang mungkin jika dibikin sinetron akan menegangkan, yaitu ketika kita akan mengeksekusi mati terpidana dari Filipina, Mary Jane Veloso," tandasnya.

Prasetyo mengatakan saat itu ia mendapatkan telepon dari Presiden Joko Widodo pukul 23.00 WIB, yang mengabarkan ada informasi dari Filipina yang menyebutkan seseorang menyerahkan diri dan mengaku sebagai perekrut Mary Jane sebagai tenaga kerja.

"Sebenarnya pada faktanya dia (Mary Jane) datang ke Indonesia dengan visa kunjungan," ujarnya.

Presiden memang tidak meminta langsung kepada Prasetyo untuk menangguhkan pelaksanaan hukuman mati terhadap Mary. Namun, dengan berbagai pertimbangan, Mary Jane batal dieksekusi malam itu. 

Namun pembatalan eksekusi itu sempat menegangkan karena, sesuai perintah Jaksa Agung, seluruh alat komunikasi di Nusakambangan atau lokasi eksekusi harus mati.

"SOP-nya, sejam sebelum eksekusi, semua alat komunikasi diperintahkan dimatikan. Saya berusaha menelepon, tidak ada yang mengangkat. Ada satu yang menyala, mungkin dia punya feeling. Dia bilang sudah masuk ruang isolasi," tutur Prasetyo.

Selanjutnya Prasetyo meminta surat resmi dari pemerintah Filipina terkait informasi adanya orang yang mengaku sebagai perekrut Mary Jane. Surat yang dikirim ternyata harus diperbaiki sampai dua kali karena pertama tidak memakai kop surat dan kedua tidak membubuhkan stempel.

"Ketika surat itu datang dari Filipina, surat tanpa kop, saya tidak mau terima, ini soal negara, masalah kedaulatan hukum kita," tegasnya.

Meski batal dieksekusi malam itu karena kesaksian Mary Jane dibutuhkan dalam persidangan seseorang yang mengaku mempekerjakannya, Jaksa Agung memastikan Mary Jane tidak bisa lepas dari hukum di Indonesia.

"Saya katakan kepada Pak Presiden, meski ada novum, tidak bisa membuat Mary Jane terbebas dari hukuman kita karena faktanya dia tertangkap tangan membawa heroin ke negara kita," ujarnya.

Selain pengalaman menegangkan, Jaksa Agung mendapatkan pengalaman tidak terlupakan, yakni ketika terpidana mati minta dinikahkan.

"Andrew Chan minta dikawinkan dulu. Karena dianggap permintaan terakhir, oke silakan. Minta honeymoon, saya pikir janganlah," kenang Prasetyo.



Eksekusi mati, lanjut Prasetyo, selalu diwarnai pro-kontra. Karena itu, langkah itu harus diambil dengan sangat hati-hati.

"Eksekusi mati ini harus dilakukan penuh kehati-hatian," katanya.

Eksekusi mati sudah lama tak terdengar. Padahal serbuan sabu berton-ton dari luar negeri terus berdatangan. Terakhir, aparat menggagalkan masuknya 1,8 ton sabu lewat perairan di Kepulauan Riau. 



detik.com