PELITAKARAWANG.COM- Jelang Pilkades serentak, politik uang dianggap bukan lagi hal tabu. Demi mendapat suatu jabatan, suara masyarakat di beli dengan uang. Ada yang langsung kepada pemilih sasaran, bahkan sampai membayar "girik" warga agar tidak hadir di hari pencoblosan. Lantas seperti apa hukum-hukum politik uang menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) Karawang ? 


Ditemui pelitakarawang.com, Ketua MUI Karawang, KH Tajudin Noor mengatakan, memberi uang dengan maksud negatif agar yang diberi bisa memilihnya, di huni "Risywah" atau suap. Karena, memberi uang demi jabatan dan menyedot perhatian masyarakat agar memilihnya adalah tidak di benarkan. Bahkan, dalam hadist jelas di sabdanya bahwa orang yang menyuap dan yang di suap tempatnya adalah neraka. Maka sebisa mungkin, masyarakat bisa menghindarkannya. "Itu sama dengan Risywah karena tujuan ambisi jabatan, " Katanya. 

Kecuali, tandas Tajudin, memberi uang semisal hadiah, sodaqoh, maupun jariyah dan sejenisnya dengan tujuan "Tahadduts Binnikmah" atas keterpilihannya sebagai Kades misalnya, itu hak yang boleh-boleh saja, karena niatnya syukuran dan yang datang dalam syukuran itu juga Idhkolussurur (ikut berbahagia. "Kalau niatnya syukuran dan Tahadduts Binnikmah, boleh-boleh saja atas terpilihnya yang bersangkutan setelah di percaya sebagai pemimpin, " Pungkasnya. (Rud)