Felly Estelita Runtuwene menilai,
keputusan pemerintah yang kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan melalui
Peraturan Presiden (Perpres) No. 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas
Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan di tengah pandemi Covid-19
tidaklah tepat.(12/6/2020).
"Kalau mau
bicara kenaikan iuran, tunggu kita stabil. Saat ini kita bicara ekonomi, tata
kelola, tapi kita lupa urusan sosialnya seperti bagaimana dampak dari pandemi
ini," ungkapnya,Kamis (11/6/2020) malam.
Hal senada juga
diungkapkan Saleh Partaonan Daulay. Ia mengatakan banyak masyarakat yang
kondisi ekonominya sulit saat Covid-19 ini merebak di Indonesia. "DPR
menolak kenaikan iuran BPJS. Ini legislatif diabaikan. Karena itu saya minta
penghitungan aktuarianya seperti apa, biar kita lihat dulu. Jangan-jangan ini
asal-asalan juga kenaikannya," tegasnya.
Ia berharap putusan MA dilaksanakan oleh pemerintah.Namun yang terjadi justru sebaliknya, pemerintah malah mengabaikannya. “Makanya mohon maaf, seakan-akan kita dikerjain semua sama pemerintah. Ada sebuah lembaga institusi demokrasi di Indonesia yang dilangkahi oleh pemerintah. Coba lihat itu MA kan adalah suatu lembaga yang disebut dengan yudikatif. Keputusannya diabaikan oleh pemerintah," ucapnya keheranan.
Sementara itu,
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK)
Muhadjir Effendy mengatakan, saat ini tarif iuran BPJS Kesehatan masih jauh
dari perhitungan aktuaria. Padahal, pemerintah telah menaikkan tarif iuran
Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri melalui Perpres Nomor
64 tahun 2020.
Muhadjir
mengatakan dengan tarif iuran yang berlaku saat ini, pemerintah harus menambal
selisihnya dengan besaran iuran berdasarkan perhitungan aktuaria. Namun
demikian, hal tersebut tidak bisa berlangsung secara terus menerus jika
disesuaikan dengan kapasitas fiskal pemerintah.
"Bahwa
pemerintah memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan JKN (Jaminan Kesehatan
Nasional) itu, iya. Kalau di bawah aktuaria, artinya pemerintah yang menangani.
Tapi tentu tidak mungkin pemerintah akan terbebani terus menerus dengan
kapasitas fiskal yang ada. Idealnya, ini iuran gotong royong, sehingga
ditanggung bersama secara aktuaria ini. Bukan berarti pemerintah tidak
bertanggung jawab," tukasnya
Sebagaimana
diketahui, kenaikan iuran BPJS Kesehatan berlaku mulai 1 Juli 2020 setelah
pemerintah mengeluarkan Perpres 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas
Perpres 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Sedangkan untuk peserta kelas
III, kenaikannya berlaku mulai 2021. Padahal MA sebelumnya MA telah membatalkan
kenaikan iuran BPJS per 1 Januari 2020 yang diatur dalam Perpres 75 Tahun 2019
tentang Jaminan Kesehatan.
Diketahui
publik,Pemerintah kembali menetapkan aturan kenaikan iuran peserta program
Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) melalui Perpres
Nomor 64 Tahun 2020, setelah sebelumnya Perpres Nomor 75 Tahun 2020 dibatalkan
oleh Putusan Mahkmah Agung (MA).
“Isi Putusan
MA yang membatalkan Pasal 34 pada Perpres Nomor 75 Tahun 2020 ini agak kami
sitir, meski pemerintah sudah membuat aturan kembali, tetapi kami perlu
mengingatkan pemerintah bahwa dalam putusan MA tersebut, terdapat pada satu
konsen, yakni permasalahan defisit dana jaminan sosial yang harus ditangani adalah
manajemen atau tata kelola BPJS secara keseluruhan,” kata Dewi saat mengikuti
raker di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (11/6/2020).
Meski sudah
dibatalkan,ia mengingatkan agar pemerintah tidak semudah itu membuat kembali
aturan penggantinya. Meski secara regulasi hal tersebut dibenarkan,tetapi perlu
diingat bahwa masih adanya sejumlah poin penting dalam Putusan MA, bahkan yang
juga terdapat dalam pendalaman rapat-rapat DPR sebelumnya, yang belum terlihat
adanya upaya pemerintah untuk mentaati.
“Setidaknya
ada 4 catatan MA, yaitu tidak seriusnya kementerian-kementerian terkait dalam
berkoordinasi menyelenggarakan JKN, ketidakjelasan eksistensi DJSN dalam
merumuskan kebijakan umum, adanya fraud dalam pengelolaan dan pelaksanaan JKN
oleh BPJS Kesehatan, dan mandulnya satuan pengawas internal BPJS dalam
melaksanakan pengawasan,”tegasnya.
Dengan belum
adanya intensi pemerintah untuk melakukan upaya perbaikan, Dewi menilai hal
tersebut menjadi hal yabg kurang mendapat perhatian dari pemerintah terkait,
termasuk Menko PMK,Menteri Kesehatan,dan BPJS Kesehatan itu sendiri. “Bukan
semata-mata mengganti dengan yang baru tetapi lakukan perbaikan ini. Karena ini
sudah dilakukan DPR dan BPKP dalam audit yang terdahulu bahkan dengan Komisi
XI,” imbuhnya.
Untuk itu,
Dewi sependapat putusan MA tentang menyatakan bahwa kesalahan pemerintah
tersebut tidak boleh dibebankan kepada masyarakat dengan maikkan iuran.
“Pemerintah terkedan melakukan pembiaran terhadap kecurangan-kecurangan yang
terjadi, sebagaimana terdapat pada putusan MA di halaman 64. Kami mendesak
agenda penguatan sistem jaminan sosial ini harusnya berfokus pada perbaikan
kualitas pelayanan dan perbaikan tata kelola, bukan hanya bagaimana
meningkatkan kontribusi iuran masyarakat,” imbuhnya.
Perlu
diketahui, besaran iuran JKN-KIS pesertta PBPU dan BP atau disebut juga oeserta
mandiri untuk bulan Januari, Februari dan Maret 2020 mengikuti Perpres Nomor 75
Tahun 2019, yaitu Rp 160.000 untuk Kelas I. Rp 110.00 untuk Kelas II, dan Rp
42.00 untuk Kelas III. Sementara untuk bulan April, Mei dan Juni 2020 mendatang
besarannya masih mengikuti Perpres Nomor 82 Tahun 2018. Per 1 Juli 2020,
iurannya bagi peserta PBPU dan BP disesuaikan menjadi Rp 150.000 untuk Kelas I,
Rp 100.000 untuk Kelas II, dan Rp 42.000 untuk Kelas III.**ts
0Komentar