Jelang Pilkada serentak 2020, banyak lembaga survei baru yang bermunculan. Hadirnya Lembaga survei tersebut di gadang-gadang sebagai bentuk upaya dalam rangka mengawal proses demokrasi.
Survei

Ketua Bidang Hukum dan Etik Perhimpunan Survei dan Opini Publik Indonesia (Persepi), Andi Syafrani saat dimintai komentar perihal bermunculannya Lembaga Survei baru jelang Pilkada 2020. Menurut Andi, kelahiran Lembaga Survei, seperti Kajian Politik Nasional (KPN) di musim Pilkada tak boleh dilarang.
Mengingat dalam melakukan survei politik perlu yang namanya dasar keilmuan khusus serta kriteria moral profesional dan akademik. Maka dri itu, masyarakat secara umum harus bisa memilah dan menilai secara objektif.
“Belum lagi nanti jika sudah masuk tahapan Pilkada, ada aspek administrasi yang harus dipenuhi oleh Lembaga Survei untuk boleh mengumumkan hasil surveinya, antara lain harus terdaftar di KPU setempat dan juga mendapat rekomendasi dari asosiasi Lembaga Survei, seperti Persepi,” ungkapnya, Jumat (07/08).
Sering kali, survei sebuah lembaga baru itu secara akademik tidak dapat dipertanggung jawabkan, maka dari itu, kita sebagai pengguna media yang bijak tidak ikut mempublikasikan dan menyebarkannya agar jangan sampai muncul opini di publik yang tidak berdasar secara ilmiah.
Andi juga melihat metodologi ilmiah yang dipakai lembaga tersebut, khusus Kajian Politik Nasional (KPN) yang belum lama ini merilis hasil survei untuk Pilkada Tangsel. Menurutnya, aspek proporsional dalam sampel harus ada. Survei sebagai salah satu jenis riset kuantitatif, lanjut Andi, telah memiliki pedoman dalam proses sampling.
“Tinggal dicek aja apakah metode yang dipakai lembaga tersebut telah sesuai dengan metode yang ada dalam referensi ilmiah. Jika tidak ada dasarnya, maka survei tersebut tidak bisa diterima secara akademik. Jadi tidak bisa hanya menjelaskan faktor agama dan demografi saja, tetap harus ada aspek proporsionalnya, dimana saja sebaran sampel yang digunakan,” imbuhnya.
Menurutnya, cara pengukuran elektabilitas pasangan calon yang dilakukan juga dinilai menyalahi aturan. Analisis harus tetap mengacu pada teori-teori voting behaviour yang ada dalam referensi ilmiah.
“Emangnya ini mau ngitung duit? Opini publik tidak bisa dikalkulasi seprti itu. Makanya desain kuesioner harus dibuat dengan cara yg telah teruji dalam standar akademik. Tidak bisa asal-asalan,” imbuhnya.
Andi menegaskan ada mekanisme pasar yang nantinya secara alamiah akan menyeleksi kehidupan Lembaga Survei. Jika secara ilmiah dan etika akademik Lembaga Survei dapat dipertanggungjawabkan maka pasar akan bisa menerima.
“Jika tidak, pelan-pelan lembaga yang tidak bisa memenuhi standar akademik dan etis akan ditenggelamkan oleh waktu. Dan juga KPN ini bukan anggota Persepi,” pungkasnya.