Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menilai kebijakan Kampus Merdeka dianggap belum sepenuhnya menjawab masalah dunia pendidikan yang meliputi otomatisasi pembaharuan akreditasi, hak belajar tiga semester di luar prodi, otonomi pembukaan prodi baru pada PTN dan PTS serta kemudahan persyaratan menjadi PTN BH.

Foto : Logo Kampus Merdeka

Dirinya mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) untuk meninjau ulang makna Kampus Merdeka, terutama ketika dihadapkan dengan makna otonomi kampus sesuai UU Pendidikan Tinggi. Dimana, penerapan program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka membutuhkan perubahan paradigma dari sivitas akademika, sehingga tidak semua kampus dapat mengimplementasikan kebijakan ini.

 

"Kebijakan mekanisme pemberian beasiswa bagi mahasiswa dan dosen. Pengelolaan Pendidikan Vokasi di Perguruan Tinggi di masa pandemi. Serta kesesuaian kebijakan Merdeka Belajar – Kampus Merdeka terhadap substansi otonomi perguruan tinggi dan Tridharma sesuai amanat UU No.12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi juga menjadi fokus diskusi hari ini," urai Fikri .


Fikri menjelaskan Kebijakan tersebut belum menjawab skema revitalisasi perguruan tinggi LPTK dan terkesan tidak sinergi dengan program Guru Penggerak.

 

Sementara itu Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan UNDIP Budi Setiyono mengatakan agar kebijakan program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka tidak terlalu kaku pada prosedur, sehingga esensi persoalan sendiri justru malah terabaikan.

 

"Analogi sederhananya seperti dalam sebuah project, ketika evaluasi justru yang lebih banyak dipertanyakan pemerintah (Kemendikbud-Dikti) justru masalah kelengkapan dokumen bukan fokus pada hasil capaian dari project tersebut," papar Budi.

 

Ia menambahkan, salah satu kesulitannya pada masa transisi di tengah pandemi ini memerlukan waktu agar mahasiswa lebih adaptif dengan program Kampus Merdeka ini.(oji/es)