Breaking News
---

Menkominfo Ajak Pemangku Kepentingan Kembangkan Teknologi Finansial

Aktivitas peer-to-peer lending fintech di Indonesia terus meningkat dengan cepat. Pada Januari 2021, jasa pinjaman dengan teknologi finansial (tekfin) ini baru menjangkau 24,7 juta orang dan menyalurkan Rp9,38 triliun.

Namun pada Juli 2021 lalu, penyelenggara jasa pinjaman uang melalui digital banking ini sudah menjangkau 25,3 juta warga dengan penyaluran dana sebesar Rp14,793 triliun – atau meningkat sekitar 63 persen. Saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat ada 121 penyelenggara peer-to-peer lending fintech di Indonesia.

“Ada peningkatan yang signifikan walaupun proporsinya belum sebesar traditional banking lending,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Johnny G. Plate, saat memberikan Keynote Speaker dalam Webinar Beritasatu “Mewaspadai Jeratan Pinjaman Online Ilegal” dari Jakarta.

Meningkatnya aktivitas peer-to- peer lending fintech ini, menurut Menteri Johnny yang mengutip hasil kajian Asosisasi Financial Technology Indonesia (AFTECH) pada 2020 lalu, karena adanya dukungan pengembangan teknologi yang mumpuni. “Seperti infrastruktur cloud, sistem electronic Know Your Customer (e-KYC), hingga fraud database. Kesemuanya merupakan langkah penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap industri peer-to-peer lending fintech, termasuk dari ancaman penyedia pinjaman online tanpa izin atau ilegal,” ungkapnya.

Lebih jauh, Menteri Johnny juga menyampaikan dukungan dan komitmen dari kementerian yang dipimpinnya terhadap perkembangan tekfin, online/internet serta digital banking di Indonesia.

“Kementerian Kominfo memahami bahwa masa depan industri tekfin di Indonesia harus terus didukung dengan pemutakhiran di berbagai aspek. Ada domain jasa keuangan yang berkaitan dengan financial technology, online banking, internet banking, digital banking,” tandasnya.

Dukungan Regulasi Teknis

Menurut Menkominfo Johnny, Pemerintah melalui OJK dan Kemenkominfo perlu hadir dalam memastikan penyelenggaran industri pinjaman online (pinjol) yang aman dan terpercaya. Bahkan dalam Pasal 40 UU No. 11/ 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah oleh UU No. 19/2016 telah mengamanatkan Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik, serta memfasilitasi pemanfaatan teknologi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Bagi yang melakukan tindak pidana di sektor teknologi finansial maka perlu dilakukan tindakan penegakan hukum yang tegas oleh aparat penegak hukum.  Hal ini perlu dilakukan agar jangan sampai dianggap mudah untuk melakukan penipuan di sektor peer-to-peer lending fintech ini,” jelasnya.

Menkominfo menyatakan ada regulasi teknis pengaturan penyelenggara peer-to-peer lending fintech yang tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) No. 77/ 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi.

Menurutnya, regulasi itu menjadi dasar tata kelola ekosistem industri pinjaman peer-to-peer lending fintech. Mendampingi POJK 77/2016, Menkominfo Johnny menyatakan Kementerian Kominfo turut melakukan tata kelola sistem elektronik yang meliputi para penyelenggara jasa tekfin sebagai penyelenggara sistem elektronik.

“Melalui Peraturan Menteri (PM) Kominfo No. 5/2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) serta Ketentuan Perubahannya (PM Kominfo 5/2020), Kominfo menerima beragam laporan dari kementerian dan lembaga terkait termasuk OJK untuk melakukan penutupan akses internet terhadap para penyelenggara jasa keuangan tanpa izin, meliputi para penyedia pinjaman online tanpa izin,” ujar Menkominfo Johnny lagi.

Kehadiran PM Kominfo No. 5/ 2020 tentang PSE dinilai dapat menghentikan adanya tekfin ilegal yang banyak beroperasi. Kehadiran regulasi itu pun diapresiasi oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) selaku asosiasi resmi penyelenggara Fintech Peer-to-Peer Lending (FP2PL).

“Kami akui tekfin sangat membantu pertumbuhan ekonomi dan layanan keuangan di Indonesia. Namun tidak dapat kita pungkiri ada juga oknum pelaku tekfin ilegal yang merugikan masyarakat. Kehadiran PM Kominfo 5/2020 diharapkan bisa menghentikan tefin ilegal,” jelas Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan saat Seminar AFPI bertajuk “Regulasi Umum Fintech Peer-to-Peer Lending” yang diselenggarakan pada 22 Juni 2021 lalu di Jakarta.

Kendati demikian, Menteri Johnny menyatakan penguatan regulasi tersebut perlu didukung juga dengan meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman siber serta penipuan dalam penyediaan layanan.

“Studi Bank Dunia 2020 melaporkan bahwa industri tekfin, terutama di negara-negara berkembang, memiliki tingkat risiko keamanan siber hingga 19 persen, lebih besar daripada risiko serupa di negara maju yang hanya 14 persen,” jelasnya.

Menurut Menteri Johnny pihaknya melakukan pelindungan terhadap masyarakat dengan  langkah komprehensif. “Yang paling tegas adalah melakukan pemutusan akses terhadap para penyelenggara peer-to-peer lending fintech yang melaksanakan kegiatannya tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Di samping itu, kami juga terus melakukan upaya-upaya literasi digital,” katanya lagi.

Sepanjang 2021, data Kemenkominfo menunjukkan sudah 447 penyelenggara jasa tekfin yang ditutup. Rinciannya, 191 tekfin ditemukan melalui filesharing, 105 tekfin melalui aplikasi, 76 tekfin yang ada di media sosial, dan 75 tekfin yang menjalankan operasinya di website.

Sementara itu Satgas Waspada Investasi (SWI) yang dibentuk OJK, sejak 2018 hingga Juni 2021 lalu juga sudah memblokir 3.193 pinjol ilegal yang beroperasi di Indonesia.

“Total terhitung sejak 2018 sampai 17 Agustus 2021 lalu, telah dilakukan pemutusan akses 3.856 platform fintech tanpa izin, termasuk penyelenggara peer-to-peer lending fintech tanpa izin sesuai hasil koordinasi bersama OJK,” kata Menteri Johnny.

Literasi Digital

Sementara itu, Ketua SWI OJK Tongam L. Tobing mengungkapkan, sejatinya pinjol menjadi solusi karena membantu mendanai kebutuhan masyarakat yang tidak memiliki akses ke bank. “Yang bikin sengsara itu itu kalau masyarakat masuk ke pinjol ilegal,” ujar Tongam dalam sebuah acara webinar, Senin (21/6/2021) lalu dari Jakarta.

Menurut Tongam, SWI OJK mencoba mengatasi maraknya pinjol ilegal ini dari dua sisi, yaitu sisi pelaku penyedia jasa pinjaman dan sisi pengguna jasa. Tongam bilang, dari sisi pelaku, pihaknya selalu melakukan patroli siber bersama dengan Kemkominfo dan memblokir situs yang dikenali sebagai pinjol ilegal.

“Setiap hari kami melakukan patroli bersama Kemkominfo. Setiap hari ada pinjol ilegal yang kami blokir sebelum diakses warga. Namun hari ini kami blokir, besoknya ada lagi yang baru. Makanya sangat sulit kalau memberantas pinjol illegal dari sisi pelaku,’’ keluh Tongam.

Oleh karena itu, kata Tongam, literasi kepada masyarakat sebagai pengguna jasa pinjol menjadi sangat diperlukan. “Kami akan terus mengedukasi masyarakat,’’ katanya.

Plt. Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika, Ditjen Aptika, Kemkominfo, Teguh Arifiadi sepakat bahwa edukasi bagi masyarakat menjadi hal utama dalam memberantas pinjol ilegal. Menurut dia, masyarakat perlu mengenali ciri-ciri tekfin ilegal serta mengetahui risiko dari penggunaan pinjol ilegal.

“Pemblokiran itu hanya salah satu cara untuk mengurangi atau mencegah dan bukan menjadi solusi permanen menangani tekfin ilegal. Solusi permanen yang perlu dikerjakan ya literasi tadi,” ujar Teguh.

Teguh juga menambahkan Kominfo kesulitan untuk memblokir keberadaan pinjol ilegal yang ada di aplikasi messaging, seperti Whatsapp dan Telegram. Padahal, menurutnya banyak pinjol ilegal yang saat ini mulai pindah berkeliaran ke layanan percakapan tersebut mengingat jika melalui aplikasi yang ada di playstore maupun applestore, mereka akan kesulitan memperoleh data pribadi pengguna.

“Secara teknis, patrolinya sangat sulit dilakukan karena pemerintah tidak punya akses ke layanan percakapan yang digunakan oleh warga negara Indonesia, sehingga kami hanya membatasi layanan-layanan yang ada di website dan aplikasi,” pungkas Teguh.

Persoalannya memang ada di masyarakat juga selaku pengguna jasa pinjol. Seperti kata Tongam, ada dua tipe masyarakat yang ada saat ini, yaitu: masyarakat yang memang tidak mengetahui terkait status ilegal dari pinjol dan masyarakat yang terpaksa meminjam karena kebutuhan dana alias kepepet. Apalagi dalam suasana pandemi ketika banyak terjadi PHK dan pengusaha UMKM yang sulit bertahan karena tidak memiliki akses ke perbankan.

Padahal, seperti diketahui dari hasil riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef) berjudul ”Studi Dampak Fintech P2P Lending terhadap Perekonomian Nasional” yang dikutip pada Senin (11/1/2021) menyebutkan, perusahaan tekfin memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi hingga 0,45 persen. Bahkan kontribusi terhadap produk domestik bruto tercatat lebih dari Rp60 triliun.

Maka melihat kenyataan ini Menteri Johnny mengajak semua pihak, para pemangku kepentingan, memperkuat kerja sama dan kolaborasi guna mengembangkan peer-to-peer lending fintechonline/internet banking menuju Digital Banking yang lebih maju. “Kerja sama yang semakin kuat antara Pemerintah, OJK, Kominfo, industri perbankan sebagai jasa perantara antara penyedia peer-to-peer lending fintech, Bank Indonesia, akademisi, serta masyarakat sangat dibutuhkan,” ungkapnya.(Ys)

Baca Juga:
Posting Komentar
Tutup Iklan