Pilkada Serentak tetap akan digelar pada 2024 mendatang. Keputusan ini berlaku untuk seluruh daerah. Termasuk di daerah khusus/istimewa yang memiliki UU tersendiri. Gubernur yang sudah habis masa jabatannya akan dijabat oleh penjabat (Pj) Gubernur hingga 2024.

Daerah khusus dan istimewa itu adalah DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Aceh dan Papua. “Dalam konteks UU, dikenal azas lex specialis derogat legi generalis. Nah, pada konteks otonomi daerah, UU Pemda adalah lex generalis dan UU Daerah Istimewa/Khusus adalah lex specialis,” ujar anggota KPU RI, Hasyim Asyari di Jakarta, Jumat (17/9).

Dikatakan, pada prinsipnya dikenal ada 2 konsep otonomi daerah simetri dan asimetris. Indonesia menganut otonomi simetris. Hal ini diatur dalam UU 23/2014 tentang Pemda. Di sisi lain, Indonesia juga menganut otonomi asimetris untuk daerah istimewa dan daerah khusus.

“Sesuai amanat UUD 1945 yang diatur dalam UU DKI Jakarta, UU Daerah Istimewa Yogyakarta, UU Pemerintahan Aceh dan UU Otonomi Khusus Papua. Pada konteks Pilkada, UU Pilkada adalah lex generalis untuk mengatur pilkada di semua daerah (provinsi dan kab/kota, Red) di Indonesia. Demikian pula UU tentang daerah istimewa/khusus adalah lex specialis. Ini untuk pilkada di daerah istimewa/khusus,” papar Hasyim.

Menurutnya, Sistem pemilu dan pilkada memiliki 4 aspek strategis. Yakni daerah pemilihan dan alokasi kursi, mekanisme pencalonan, metode pemberian suara dan formula pemilihan. “4 aspek tersebut berlaku untuk semua daerah dalam pilkada sebagaimana diatur dalam UU Pilkada,” tukasnya.

Meski begitu, terdapat perlakuan khusus pada daerah istimewa dan khusus. Untuk mekanisme pencalonan, wilayah Papua terdapat pengaturan khusus tentang syarat calon gubernur dan wakil gubernur.

Yaitu harus orang Papua Asli atau dinyatakan sebagai orang Papua Asli oleh Majelis Rakyat Papua (MRP). Ketentuan ini hanya berlaku untuk calon gubernur dan wakil gubernur saja. Tidak berlaku untuk calon bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota.

Untuk DIY, syarat calon Gubernur DIY harus Sultan Hamengku Buwono dan calon wagub harus Pakualam. Mekanisme pencalonan melalui penetapan oleh DPRD DIY dan diusulkan ke Presiden untuk ditetapkan dan dilantik.

Sedangkan Daerah Istimewa Aceh pengaturan kekhususan berkaitan syarat calon gubernur/bupati/wali kota dan wakilnya harus fasih membaca Al Qur’an melalui tes baca kitab suci. Hanya pengaturannya pada level Qonun Prov Aceh (Perda Provinsi) dan Qonun Kab/Kota (Perda Kabupate/Kota).

“Bukan pada level UU. Parpol lokal Aceh dapat mengajukan pendaftaran calon. Ketentuan syarat pencalonan oleh parpol lokal Aceh mengikuti ketentuan UU Pilkada,” beber Hasyim.

Sementara metode pemberian suara juga ada kekhususan. Untuk Papua, Pilkada Gubernur/Bupati/Wali Kota dan wakilnya digunakan metode noken untuk daerah-daerah tertentu. Pengaturan noken pada level Peraturan KPU dan penentuan daerah yang pakai noken menggunakan SK KPU Provinsi Papua, bukan pada level UU.

Terkait formula pemilihan, untuk Pilkada DKI Jakarta kekhususannya adalah pemenang harus memperoleh suara sah lebih dari 50 persen suara sah (suara terbanyak mayoritas, Red). Bila tidak terdapat calon yg memperoleh suara lebih dari 50 persen, maka digelar pilkada putaran kedua.

Pesertanya diikuti oleh calon dengan perolehan suara terbanyak peringkat pertama dan kedua. Formula pemilihan untuk pilkada putaran kedua adalah pemenang harus memperoleh lebih dari 50 persen suara sah.

“Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan kekhususan Pilkada di daerah istimewa dan khusus hanya pada aspek strategis pilkada,” terang Hasyim.

Bagi daerah istimewa dan khusus yang melaksanakan Pilkada 2017 dan Pilkada 2018 berlaku ketentuan umum pilkada sebagaimana diatur dalam Pasal 201 ayat (3), (5), (7), (8), (9) UU 10/2016 tentang Pilkada.

Yakni Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan tahun 2017 menjabat sampai dengan tahun 2022. Untuk Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai tahun 2023.

Begitu juga dengan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai tahun 2024. “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pilkada di seluruh Indonesia dilaksanakan pada November 2024,” urainya.

Untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang berakhir pada 2022 dan 2023, akan diangkat penjabat alias Pj. Ini sampai terpilihnya kepala daerah melalui Pilkada serentak nasional tahun 2024. (Fajar/Indo)