Layanan pinjaman online (pinjol) kini menjadi alternatif bagi banyak orang untuk mendapatkan dana segar secara instan. Namun, jika tidak dibarengi dengan literasi keuangan yang baik, masyarakat akan gampang terjerat aplikasi pinjol illegal.
Foto ilustrasi

Menurut Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran (Unpad), Dr.rer.pol. Hamzah Richi, M.BIT., Ak., literasi keuangan yang tidak baik akan mendorong masyarakat mudah terjerat aplikasi pinjol ilegal. Apalagi jika hal ini tidak dibarengi dengan sikap yang bijak dalam memanfaatkan dana pinjaman.

“Kecenderungan (masyarakat) yang konsumtif menjadi bumerang bagi peminjam yang cepat silau dengan uang di tangan,” kata Ritchi dikutip dari keterangan terulis Unpad, Kamis, 14 Oktober 2021.

Dengan sistem persyaratan yang sangat mudah, bermodal KTP, dalam waktu yang tidak lama, seseorang dapat langsung menerima dana tunai ke rekening pribadinya. Ritchi menjelaskan, dengan persyaratan yang gampang, seseorang menjadi lebih mudah untuk membuka pinjaman lagi ke aplikasi lain tatkala ia gagal bayar di aplikasi sebelumnya.

“Tanpa sadar, dia pasti harus menutupi pinjaman sebelumnya dengan pijaman di aplikasi lain yang lebih besar. Sampai pada satu titik dia enggak bisa bayar, baru enggak berkutik,” jelasnya.

Pinjol Ilegal Bertambah

Pemerintah sendiri sebenarnya telah mengatur dan mengawasi secara ketat berbagai layanan bisnis pinjol atau yang kerap disebut peer-to-peer lending (P2P Lending) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Tidak hanya memberikan izin, OJK bersama AFTECH dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) melakukan pembinaan dan penegakan peraturan terhadap aplikasi pinjol di Indonesia.

Ritchi memaparkan, berdasarkan data OJK per 8 September 2021, penyelenggaraan fintech P2P lending resmi/legal malah berkurang menjadi 107 platform dari semula 149 platform pada akhir 2020.

Hal ini mengindikasikan bahwa perizinan dan pengawasan OJK terhadap bisnis P2P lending semakin ketat. “Banyak fintech P2PL yang turun kelas dan tidak jadi terdaftar karena tidak kuasa memenuhi kapasitas infrastruktur IT, kesiapan modal, hingga kualitas credit scoring,” imbuh Ritchi.

Ada lebih dari 1.500 layanan pinjol belum resmi atau terkategori ilegal. Penanganannya ditangani langsung Satuan Tugas Waspada Investasi yang dibentuk OJK. Satgas ini berperan untuk memberantas dan menertibkan pinjol ilegal tersebut.

Bom Waktu

Iming-iming bunga yang rendah, persyaratan mudah, hingga proses pencairan dana yang cepat menjadi alasan mengapa banyak orang tergiur pinjol ilegal. Padahal, hal tersebut bisa menjadi bom waktu yang bisa meledak sewaktu-waktu.

Ritchi menganalisis, skema bunga aplikasi pinjol justru lebih membengkak dibandingkan kredit perbankan. OJK sendiri telah menetapkan batas maksimum bunga pinjol tidak boleh lebih dari 0,8 persen per hari.

Meski demikian, bunga ini juga relatif lebih tinggi dibandingkan perbankan konvensional. Jika dihitung secara kasar menggunakan skema bunga maksimum OJK sebesar 0,8 persen per hari, besaran bunga per bulannya mencapai 24 persen. Artinya, besaran bunga per tahun akan membengkak menjadi 288%.

“Bandingkan dengan kredit bank, misalkan kredit usaha rakyat, itu kisaran 7 persen per tahun. Di bank lain, mungkin antara 9 sampai 18 persen per tahun,” kata Ritchi.

Lebih lanjut Ritchi mengatakan, dalam jangka pendek, dampak dari pinjol ilegal mungkin tidak terlalu terasa. Namun, jika diagregasi dan dilihat dalam jangka menengah dan panjang dampaknya akan signifikan.

“Apalagi dengan disertai literasi yang rendah, tingkat konsumtif yang tinggi, dan latar belakang ekonomi menengah ke bawah, akan menjadi bom waktu bagi sektor ekonomi mikro dan masyarakat tingkat menengah sebagai penggerak ekonomi,” kata Ritchi.(Medcom)