Mantan suami Valencya, Chan Yung Ching dituntut pidana penjara selama enam bulan dengan masa percobaan satu tahun dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Dalam lanjutan persidangan di Pengadilan Negeri Kabupaten Karawang Jawa Barat, Selasa, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Agung menilai terdakwa Chan terbukti bersalah dalam perkara penelantaran dan KDRT.

Atas hal tersebut, JPU menuntut enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun.

JPU yang terdiri dari Jaksa Muda Pidana Umum (Jampidum) dari Kejagung yakni Syahnan Tanjung (Jaksa utama), Fadjar (Jaksa madya), dan Erwin Widhiantono menyatakan Chan Yung Ching terbukti bersalah melakukan penelantaran terhadap anak istri sesuai Pasal 49 huruf A jo Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

JPU menyebutkan perbuatan Chan Yu Ching terhadap Valencya dan dua anaknya sudah menelantarkan keluarga dan tidak memberikan nafkah. Hal itu terungkap dari keterangan saksi dan korban.

Menanggapi tuntutan tersebut, kuasa hukum Chan Yung Ching, Bernard Nainggolan mengatakan seharusnya kliennya juga dibebaskan dari tuntutan, seperti Valencya yang mendapatkan bebas tuntutan dari jaksa.

"Dia (Chan) merasa kalau Ibu Valencya dituntut bebas, seharusnya dituntut bebas juga. Tapi kami belum bisa bicara sampai ke situ kami masih menunggu," katanya

Ia juga membantah adanya penelantaran yang dituduhkan Valencya ke kliennya. Karena kliennya tidak pernah melakukan penelantaran anak.

Bahkan setelah keluar dari rumah pada Februari 2019, Chan masih mengirimkan uang untuk anaknya, tapi semua uangnya dikembalikan oleh Valencya ke rekening Chan.

"Dari awal Pak Chan tidak ingin bercerai dan berusaha mempertahankan perkawinannya. Tapi Ibunya tetap ngotot cerai sih, upaya mediasi itu sudah beberapa kali dilakukan, tapi, itu bahkan tawarannya dari Pak Chan, tapi dari ibu Valencya itu mediasinya bersyarat," ujarnya.

Majelis hakim Ismail Gunawan memberikan kesempatan terhadap terdakwa untuk pembelaan atau pleidoi pada Kamis (7/12) pekan depan.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menyesalkan terjadinya kasus kekerasan dalam rumah tangga di Cianjur, Jawa Barat yang menyebabkan tewasnya seorang perempuan berinisial S (21).

"Kami turut prihatin atas kejadian yang terjadi di Kampung Manjul, Desa Sukamaju, Kecamatan Cianjur yang menimpa S (21) korban kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suaminya yang merupakan WNA berinisial AL (29) yang dengan keji menyiram air keras dan menyiksa korban hingga meninggal dunia," tutur Menteri Bintang melalui siaran pers di Jakarta, Selasa.

Bintang meminta upaya perlindungan hukum harus dilakukan terhadap korban kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, khususnya perempuan dan anak sebagai kelompok rentan menjadi korban kekerasan.

Menteri Bintang menyatakan aturan dalam Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga harus ditegakkan sebagai pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok rentan atau subordinasi, khususnya perempuan mengingat banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga.

"Selama ini kita terus berjuang untuk tidak melanjutkan budaya kekerasan di semua lingkup masyarakat hingga lingkup terkecil, yaitu keluarga. Dalam kelompok masyarakat, perempuan dan anak adalah kelompok rentan sehingga kita semua wajib melindungi dan menghindarkan mereka menjadi korban kekerasan, termasuk kawin kontrak yang juga marak terjadi di daerah," tegasnya.



Pemerintah wajib memenuhi dan melindungi hak asasi perempuan, salah satunya dengan penerapan Undang - undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang mengatur langkah - langkah antisipasi lahirnya kekerasan baru dan adanya kejelasan sanksi bagi pelaku kekerasan.

"Kami mengajak masyarakat untuk mengawal kasus ini agar tidak ada lagi korban kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik, psikis, seksual dan penelantaran dalam rumah tangga. Kami juga meminta aparat kepolisian untuk memproses kasus ini sesuai aturan hukum yang berlaku. Tugas kita semua untuk semaksimal mungkin mencegah terjadinya kekerasan di sekeliling kita agar terwujud zero kekerasan," kata Menteri Bintang.

Pelaku dapat dikenakan sanksi Pasal 6 jo Pasal 44 ayat (3) UU PKDRT karena menyebabkan meninggalnya korban dan jika dilihat dalam KUHP, pelaku dapat dikatakan telah melakukan penganiyaan berat yang mengakibatkan matinya seseorang atau pembunuhan.

HAM dalam konstitusi merupakan hak warga negara yang disebut sebagai hak-hak konstitusional, yakni hak-hak warga negara yang dijamin dalam UUD 1945, sejalan dengan prinsip Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan harus dilakukan di segala bidang, seperti sosial, politik, ekonomi, hukum, keamanan termasuk diskriminasi dalam keluarga.

Hal ini juga sejalan dengan upaya mengawal Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia sejak 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga 10 Desember yang merupakan Hari HAM Internasional.

Rentang waktu tersebut dipilih dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.(Ant)