Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kabupaten Karawang, Jawa Barat, menyebutkan pembuangan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di kawasan perhutanan sosial Karawang kembali terjadi padahal sebelumnya telah dipasang garis polisi.

Wawan Kadis LHK Karawang

"Pada Mei 2020 (lokasi pembuangan limbah B3) sudah pernah dilakukan verlap (verifikasi lapangan)," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan setempat Wawan Setiawan saat dihubungi di Karawang.(20/5/22).

Setelah diverifikasi lapangan saat itu, katanya, juga dipasang garis polisi di lokasi oleh petugas. Sanksinya berupa penghentian kegiatan. Namun di lokasi yang sama, sekarang ini kembali dimanfaatkan untuk pembuangan limbah B3.

"Saat ini yang menjalankan kegiatan adalah pemilik (pemegang izin) baru, mulai beroperasi Februari 2022," kata Wawan.

Untuk jenis limbah yang diambil adalah kemasannya sehingga kemasan, seperti drum diambil dan isinya dibuang. Menurut dia, limbah didapatkan dari pengangkut limbah kemudian diturunkan dan dibongkar di lokasi.

"Limbah dominan dari industri makanan (sludge), namun terlihat juga ada thinner, cat (bahan-bahan mudah terbakar/flammable), beberapa limbah medis (suntikan, sarung tangan/handscoon, dan botol obat)," kata dia.

Dikatakannya, di lokasi pembuangan limbah di kawasan perhutanan sosial tersebut, kemasan tidak dicuci, hanya dibuang kemudian dibersihkan secara manual.

Terkait dengan munculnya kasus pembuangan limbah B3 di Kampung Cibenda, Desa Parungmulya, Kecamatan Ciampel, Karawang, Wawan mengaku kalau pihaknya telah mendampingi melakukan verifikasi lapangan oleh Tim Direktorat Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sebelumnya Wawan juga menyatakan terbatasnya armada pengangkut sampah menjadi faktor utama terjadinya penumpukan sampah di sejumlah titik di wilayah perkotaan Karawang.

"Produksi sampah di wilayah Karawang sekitar 900 ton per hari," kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan setempat Wawan Setiawan, di Karawang.

Ia mengatakan, dari produksi sampah yang mencapai 900 ton per hari, pihaknya hanya bisa mengangkut 400 ton sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Jalupang.

Sisanya sekitar 500 ton sampah di Karawang, tak bisa diangkut ke TPA. Kondisi itu terjadi akibat terbatasnya armada pengangkut sampah milik Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Karawang.

Menurut dia, penghitungan produksi sampah per hari itu mengacu ke Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008. Potensi per orang buang sampah antara 0,8 sampai 0,7 kilogram per hari.

Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Karawang saat ini baru punya 63 unit truk untuk mengangkut sampah dari TPS ke TPA Jalupang atau setara 400 ton per hari.

“Idealnya, Karawang mesti punya 125 truk angkutan sampah. Bisa saja kita cicil beli 10 truk setiap tahun, tapi problemnya TPA Jalupang luasnya hanya 8 hektare, tidak mampu menampung semua,” katanya.

Terkait solusi lain, Wawan menyebutkan bila pihaknya akan menggandeng investor swasta untuk mengelola sampah TPA Jalupang. Perusahaan swasta tersebut, akan membangun instalasi RDF (Refuse Derived Fuel) yang mampu mengolah sampah jadi bahan bakar alternatif pengganti batubara.

Sementara itu, selama beberapa tahun terakhir ini pengangkutan sampah ke TPA Jalupang tidak hanya dilakukan oleh dinas. Sejumlah pihak swasta yang terdiri atas badan usaha dan perorangan juga bisa mengangkut sampah.

Badan usaha dan perorangan bebas memasang tarif retribusi pengangkutan sampah kepada masyarakat atas seizin pemerintah kabupaten setempat.(Ant)