Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap tiga jenis bantuan sosial (bansos) di era pemerintah Joko Widodo yang tidak tepat sasaran, sehingga berpotensi merugikan negara sebesar Rp6,93 triliun, Rabu (25/5/2022).

Laporan hasil pemeriksaan semester II BPK tahun 2021 menyebutkan bahwa penetapan dan penyaluran bansos Program Keluarga Harapan (PKH) sembako, Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), serta Bantuan Sosial Tunai (BST), tidak sesuai ketentuan.

Anggota BPK Achsanul Qosasi dalam wawancaranya di program Sapa Indonesia Malam KOMPAS TV mengatakan bahwa dana Rp6,93 triliun tersebut terbagi menjadi tiga persoalan.

Pertama, sebanyak Rp5,5 triliun dana disalurkan kepada nama-nama yang tidak masuk dan tidak terdaftar dalam Daftar Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

"Artinya, orang yang tidak ada di dalam daftar ikut menerima. Jadi dari Rp120 triliun bansos, kami akan lakukan sampling dengan pemeriksaan yang valid, Rp5,5 triliun tidak masuk dalam DTKS," kata Achsanul.

BPK meminta Kementerian Sosial untuk memberikan daftar penerima bansos sejumlah Rp5,5 triliun tersebut.

"Kemensos harus sebut, kalau orangnya ada, masukkan ke dalam DTKS, kemudian BPK menguji data-data yang diberikan," jelas Achsanul.

Kedua, sekitar Rp700 miliar diberikan kepada warga dengan nomor induk kependudukan (NIK) yang tidak bisa dipadankan dengan NIK penerima bansos.

"NIK-nya ada, tetapi tidak bisa dipadankan. Kan kita padanannya NIK, jadi orang ini tidak berhak," imbuh Achsanul.

Terakhir, Achsanul menambahkan, ada NIK ganda atau orang yang sudah meninggal yang masih mendapatkan dana bansos.

Anggota Komisi VIII DPR RI Maman Imanulhaq mengatakan bahwa temuan tersebut merupakan fenomena puncak gunung es dari sulitnya upaya menyalurkan dana sosial yang tepat sasaran kepada masyarakat.

"Perlu satu data yang sama, lalu program yang betul-betul transparan dan berkesinambungan, serta partisipasi masyarakat," pungkasnya.