Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa dua saksi kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan tower transmisi tahun 2016 pada PT PLN. Salah satunya merupakan pihak dari PT Wika Industri & Konstruksi.

Foto ilustrasi : Gedung Kejaksaan Agung

Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana menyampaikan kedua saksi diperiksa di Gedung Bundar Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung pada Kamis, 10 November 2022.

"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan tower transmisi tahun 2016 pada PT PLN (persero)," tutur Ketut dalam keterangannya, Jumat (11/11/2022).

Adapun saksi yang diperiksa adalah H selaku Vice President Bantuan Hukum Kantor Pusat PT PLN dan NS selaku Staf Keuangan PT Wika Industri & Konstruksi. Keduanya diperiksa terkait dengan penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan tower transmisi tahun 2016 pada PT PLN.

Sebelumnya, Kejagung telah menaikkan status kasus dugaan korupsi pengadaan tower transmisi PT PLN pada 2016 dari tahap penyelidikan ke penyidikan. Hal itu berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print- 39/F.2/Fd.2/07/2022 tanggal 14 Juli 2022.

Pada perkara ini, PT PLN pada 2016 memiliki proyek pengadaan tower sebanyak 9.085 set dengan anggaran pekerjaan Rp 2.251.592.767.354.

Namun dalam pelaksanaannya, Kejaksaan Agung meyakini telah terjadi perbuatan melawan hukum atau menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dalam proses pengadaan tower transmisi PT PLN (persero) yang diduga menimbulkan kerugian keuangan negara.

Dugaan

Hal itu terbukti dari dokumen perencanaan pengadaan yang tidak dibuat, juga menggunakan Daftar Penyedia Terseleksi (DPT) tahun 2015 dan penyempurnaannya dalam pengadaan tower. Padahal seharusnya pembangunan harus menggunakan produk DPT yang dibuat pada tahun 2016. Namun pada kenyataannya DPT 2016 tidak pernah ada.

Kemudian, PT PLN dalam proses pengadaan selalu mengakomodasi permintaan dari ASPATINDO, sehingga mempengaruhi hasil pelelangan dan pelaksanaan pekerjaan yang dimonopoli oleh PT Bukaka, sebab Direktur Operasional PT Bukaka merangkap sebagai Ketua ASPATINDO.

Kemudian, PT Bukaka dan 13 Penyedia Tower lainnya yang tergabung dalam ASPATINDO telah melakukan pekerjaan dalam masa kontrak yaitu Oktober 2016 sampai dengan Oktober 2017 dengan realisasi pekerjaan sebesar 30 persen.

Di Luar Kontrak

Selanjutnya, pada periode November 2017 sampai dengan Mei 2018 penyedia tower tetap melakukan pekerjaan pengadaan tower tanpa legal standing yang kondisi tersebut memaksa PT PLN (persero) melakukan addendum pekerjaan pada bulan Mei 2018 yang berisi perpanjangan waktu kontrak selama 1 tahun.

PT PLN (persero) dan pihak penyedia juga melakukan adendum kedua untuk penambahan volume dari 9085 tower menjadi kurang lebih 10 ribu set tower dan perpanjangan waktu pekerjaan sampai dengan Maret 2019, dikarenakan alasan pekerjaan belum selesai.

Hasilnya, Kejaksaan Agung menemukan tambahan alokasi sebanyak 3 ribu set tower di luar kontrak dan addendum.

Penyidik pun langsung melakukan serangkaian tindakan, mulai dari penggeledahan, yang bertempat di tiga titik lokasi yakni PT Bukaka, rumah, dan apartemen pribadi milik Direktur PT Bukaka, Saptiastuti Hapsari. (L6)