Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI merilis lima provinsi dengan tingkat kerawanan tertinggi dalam penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) berdasarkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2024 mengacu pada pendekatan hasil input bawaslu provinsi.


"Jika mengacu pendekatan pertama, yakni hasil input bawaslu provinsi, IKP Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 mencatatkan ada lima provinsi atau 15 persen yang masuk kategori kerawanan tinggi," ujar anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty saat menyampaikan paparan dalam acara Launching Indeks Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 di Jakarta, Jumat.
Launching Indeks Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 di Jakarta

Lima provinsi tersebut adalah DKI Jakarta dengan skor kerawanan sebesar 88,95, Sulawesi Utara (87,48), Maluku Utara (84,86), Jawa Barat (77,04), dan Kalimantan Timur (77,04).

Lebih lanjut, Lolly menyampaikan indeks kerawanan dalam laporan yang dirilis oleh Bawaslu RI itu merujuk pada semua hal yang dapat mengganggu dan menghambat pelaksanaan Pemilu 2024 yang demokratis.

Lolly lantas mengatakan bahwa Bawaslu mengukur indeks kerawanan Pemilu 2024 di tingkat provinsi itu berdasarkan 61 indikator dari empat dimensi, yakni sosial dan politik, penyelenggaraan pemilu, kontestasi, serta dimensi partisipasi.

Menurut Lolly, penyelenggaraan pemilu merupakan dimensi yang paling berkontribusi terhadap potensi lahirnya kerawanan pemilu jika dibandingkan dengan tiga dimensi lainnya.

Di tingkat provinsi, kata dia, dimensi penyelenggaraan pemilu tercatat menjadi dimensi paling tinggi dalam memengaruhi kerawanan pemilu dengan skor 54,27. Dimensi berikutnya adalah konteks sosial politik dengan skor 46,55, kemudian dimensi kontestasi dengan skor 40,75. Sementara itu, dimensi yang potensinya paling minim dalam melahirkan kerawanan pemilu adalah dimensi partisipasi politik dengan skor 17,23.

Ia menyebutkan terdapat 21 provinsi yang berada dalam tingkat kerawanan sedang. Daerah itu adalah Banten (66,53), Lampung (64,61), Riau (62,59), Papua (57,27), Nusa Tenggara Timur (56,75), Sumatera Utara (55,43), Maluku (53,69), Papua Barat (53,48), Kalimantan Selatan (53,35), dan Sulawesi Tengah (52,90).

Berikutnya Bali (52,75), Gorontalo (45,44), Sulawesi Barat (43,44), D.I. Yogyakarta (43,02), Kepulauan Riau (40,33), Sumatera Barat (39,68), Sulawesi Tenggara (38,32), Aceh (38,06), Sumatera Selatan (35,07), Jawa Tengah (34,83), dan Kepulauan Bangka Belitung (29,89).

Selain tingkat kerawanan tinggi dan sedang, ada pula delapan provinsi dalam tingkat kerawanan rendah, yakni Kalimantan Utara (20,36), Kalimantan Tengah (18,77), Jawa Timur (14,74), Kalimantan Barat (12,69), Jambi (12,03), Nusa Tenggara Barat (11,09), Sulawesi Selatan (10,20), dan Bengkulu (3,79).

Dalam kesempatan yang sama, Bawaslu RI juga merilis sepuluh provinsi yang masuk dalam kategori provinsi dengan tingkat kerawanan tinggi berdasarkan IKP 2024 mengacu hasil agregat penghitungan dari bawaslu kabupaten/kota.

Provinsi tersebut adalah Banten (45,18), Papua (45,09), Maluku Utara (42,35), Sulawesi Tengah (41,70), D.I. Yogyakarta (41,37), Jawa Barat (39,72), Nusa Tenggara Barat (38,46), Sulawesi Utara (37,02), DKI Jakarta (35,95), dan Jawa Tengah (35,90).

Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI meluncurkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2024 dalam rangka memetakan semua hal yang dapat mengganggu dan menghambat pelaksanaan Pemilu 2024 yang demokratis. "Indeks Kerawanan Pemilu adalah early warning system yang kita mulai (sebagai persiapan awal) pada pelaksanaan Pemilu 2024," ujar Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja saat memberikan sambutan dalam acara Launching Indeks Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 di Jakarta, Jumat.

Peluncuran IKP 2024 ditandai secara simbolis dengan penekanan tombol oleh Bagja dan seluruh anggota Bawaslu RI, yakni Lolly Suhenty, Puadi, Herwyn J.H. Malonda, dan Totok Hariyono.

Bagja pun mengatakan bahwa IKP pertama kali dibuat oleh pimpinan Bawaslu RI periode 2008—2012 dan terus dikembangkan oleh pimpinan Bawaslu periode 2012—2017 serta periode 2017—2022 hingga menjadi program prioritas Bawaslu RI periode 2022—2027.

Ia lalu menyampaikan Bawaslu berharap peluncuran IKP 2024 dapat menjadi pedoman bagi para peserta pemilu untuk menjaga kondisi pesta demokrasi agar dapat berjalan dengan baik.

"Saya tahu perjuangan teman-teman (penyelenggara dan peserta) semua dalam memasuki arena pemilihan umum. Teman-teman (penyelenggara pemilu) jangan hadapkan teman-teman peserta pemilu pada berbagai hal yang tidak kondusif," tambah Bagja.

Dalam kesempatan itu, hadir pula anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin dan anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi.

Saat memberikan sambutan, Afifuddin mengatakan bahwa IKP merupakan program yang hanya ada di Indonesia dan menjadi salah satu mitigasi program untuk mencegah kerawanan pemilu.

"Di-launching IKP ini, pada saat yang bersamaan kami akan memakainya sebagai cara pandang, sebagai masukan mitigasi proses untuk melaksanakan tahapan pemilu kami di tahapan-tahapan selanjutnya," ujar dia.

Ia pun mengatakan bahwa IKP akan bermanfaat untuk semua pihak dalam mengantisipasi adanya kerawanan-kerawanan pemilu yang mungkin muncul.

"Apalagi, Bawaslu sudah menyampaikan tekadnya bahwa salah satu yang akan dimaksimalkan oleh Bawaslu adalah pencegahan," tambah dia.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI meluncurkan Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2024 dalam rangka memetakan semua hal yang dapat mengganggu dan menghambat pelaksanaan Pemilu 2024 yang demokratis.

"Indeks Kerawanan Pemilu adalah early warning system yang kita mulai (sebagai persiapan awal) pada pelaksanaan Pemilu 2024," ujar Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja saat memberikan sambutan dalam acara Launching Indeks Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 di Jakarta, Jumat.

Peluncuran IKP 2024 ditandai secara simbolis dengan penekanan tombol oleh Bagja dan seluruh anggota Bawaslu RI, yakni Lolly Suhenty, Puadi, Herwyn J.H. Malonda, dan Totok Hariyono.

Bagja pun mengatakan bahwa IKP pertama kali dibuat oleh pimpinan Bawaslu RI periode 2008—2012 dan terus dikembangkan oleh pimpinan Bawaslu periode 2012—2017 serta periode 2017—2022 hingga menjadi program prioritas Bawaslu RI periode 2022—2027.

Ia lalu menyampaikan Bawaslu berharap peluncuran IKP 2024 dapat menjadi pedoman bagi para peserta pemilu untuk menjaga kondisi pesta demokrasi agar dapat berjalan dengan baik.

"Saya tahu perjuangan teman-teman (penyelenggara dan peserta) semua dalam memasuki arena pemilihan umum. Teman-teman (penyelenggara pemilu) jangan hadapkan teman-teman peserta pemilu pada berbagai hal yang tidak kondusif," tambah Bagja.

Dalam kesempatan itu, hadir pula anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin dan anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi.

Saat memberikan sambutan, Afifuddin mengatakan bahwa IKP merupakan program yang hanya ada di Indonesia dan menjadi salah satu mitigasi program untuk mencegah kerawanan pemilu. "Di-launching IKP ini, pada saat yang bersamaan kami akan memakainya sebagai cara pandang, sebagai masukan mitigasi proses untuk melaksanakan tahapan pemilu kami di tahapan-tahapan selanjutnya," ujar dia.

Ia pun mengatakan bahwa IKP akan bermanfaat untuk semua pihak dalam mengantisipasi adanya kerawanan-kerawanan pemilu yang mungkin muncul.

"Apalagi, Bawaslu sudah menyampaikan tekadnya bahwa salah satu yang akan dimaksimalkan oleh Bawaslu adalah pencegahan," tambah dia.


Bawaslu Jabar
Sementara itu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Jawa Barat mengantisipasi pelanggaran kampanye yang berpotensi marak terjadi di media siber atau media sosial menjelang Pemilu 2024.
 
Koordinator Divisi Pencegahan dan Partisipasi Masyarakat (P2M) Bawaslu Jabar Zaki Hilmi mengatakan antisipasi itu dilakukan karena tren masyarakat memanfaatkan media siber atau media sosial semakin meningkat.
 
"Ini karena tren penggunaan media sosial semakin kuat maka kampanye bakal banyak dilakukan menggunakan media sosial sebagai ajang kampanye yang efektif," kata Zaki di Bandung, Selasa.
 
Meskipun peserta atau calon yang akan mengikuti pemilu belum ada, menurutnya, upaya-upaya hambatan terhadap peserta sudah mulai timbul melalui informasi-informasi di media sosial yang belum jelas kebenarannya.
 
"Misalkan, peserta pemilu belum ada tapi sudah ada pandangan atau stigma negatif terhadap orang yang baru menjadi bakal calon," kata dia. (Ant)