Breaking News
---

Bereskan dan Rubah Sistem Zonasi, Komisi X DPR Ingatkan Kemendikbudristek Segera Bentuk Satgas PPDB

Komisi X DPR RI mengingatkan Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) untuk segera membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemantauan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang menyusul meningkatnya laporan berupa protes terkait penyelenggaraan PPDB.

Foto : Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf

Terbentuknya satgas diharapkan bisa mengurangi sengkarut isu PPDB, khususnya sistem zonasi.(26/7/23).Dirinya menegaskan polemik PPDB tidak boleh dibiarkan menjadi dilema tanpa ada penanganan yang tuntas.


"Masalah terbesar yang kita hadapi dalam dunia pendidikan adalah sistem zonasi. Di mana-mana orang berlomba-lomba memasukkan anaknya ke sekolah dengan berbagai cara yang kurang baik, seperti hanya numpang tinggal sementara dan juga persoalan data yang kurang signifikan,” kata Dede.


Seperti diketahui, banyak kecurangan terhadap praktik PPDB berbasis zonasi. Mulai dari, temuan Kartu Keluarga (KK) palsu, adanya upaya penyisipan nama calon murid pada KK sebagai anggota keluarga tambahan, hingga modus manipulasi yang dioperasikan secara meyakinkan sehingga membuka celah agar memenuhi syarat domisili sebagai prinsip dasar PPDB zonasi.


Terkait manipulasi jalur zonasi, Kemendikbudristek juga menemukan modus yaitu dengan cara memasukkan nama anak ke dalam kartu keluarga yang alamat rumahnya dekat dengan sekolah yang dituju. Modus tersebut mengakibatkan dalam satu KK ditemukan adanya nama 10-20 anak.


Menanggapi temuan tersebut, Politisi Fraksi Demokrat itu menilai perlu memperkuat pengawasan dengan melibatkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), di mana kementerian tersebut bisa turut pemantauan perubahan data kependudukan. “Persoalan ini harus melibatkan Kementerian lain. Terutama Kemendagri soal kewenangan pengawasan daerah. Karena diduga banyak kecurangan penerimaan murid baru dengan menggunakan perpindahan domisili,” jelasnya.


Tidak hanya melibatkan kementerian lainnya, ia menyampaikan bahwa Satgas PPDB harus berkoordinasi dengan dinas pendidikan (disdik) daerah dan Ombudsman wilayah setempat. Upaya ini, menurutnya, harus dilakukan karena dikatehaui ada banyak pejabat daerah yang memanfaatkan proses PPDB demi kepentingan pribadi dengan melakukan sejumlah pelanggaran.


"Kami minta dikuatkan Satgas PPDB bersama dengan Ombudsman terutama di daerah-daerah untuk melakukan fungsi pemantauan dan pengecekan atas penyimpangan-penyimpangan,termasuk memberikan sanksi kepada pejabat-pejabat berwenang yang mana justru banyak menjadikan PPDB ini semakin lebih bermasalah, seperti minta uang, titipan dan sebagainya," papar Dede.


Selain masalah jalur zonasi, manipulasi juga kerap terjadi dalam sistem PPDB jalur prestasi. Jalur ini sering kali seleksi dijadikan celah untuk memasukkan titipan calon murid untuk agar bisa bersekolah di sekolah yang diinginkan. Modus ini mengakibatkan pihak sekolah mengalami tekanan.


Oleh karena itu, kata Dede, rekomendasi lain dari Komisi X DPR RI kepada Kemendikbudristek adalah terkait perbaikan sistem PPDB jalur prestasi. “Dalam rekomendasi, Komisi X DPR juga mendesak Kemendikbudristek untuk memperjelas mekanisme, definisi dan kriteria pada jalur prestasi. Karena kriteria yang tidak jelas banyak dijadikan kesempatan pihak-pihak tertentu untuk melakukan manipulasi,” pungkas legislator dari Dapil Jawa Barat II itu.


Melihat kompleksnya persoalan penerimaan siswa baru, Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf mempertimbangkan membentuk Panitia Kerja Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Panja ini, jelas Dede, menjadi bentuk upaya DPR untuk bekerja menangani banyaknya laporan temuan pelanggaran yang dilakukan sejumlah oknum selama penyelenggaraan PPDB.


"Sekarang tugas pemerintah merespons apabila temuan Ombudsman merujuk adanya pelanggaran administratif oleh guru dan pejabat-pejabat terkait. Kita pantau, kalau perlu sehabis reses bikin Panja PPDB," tutur Dede, Selasa (26/7/2023).


Berdasarkan data dari UNICEF, disebutkan bahwa sekitar 4,1 juta anak-anak di Indonesia pada rentang usia 7-18 tahun tidak mendapat pendidikan atau bersekolah pada tahun 2021. Angka ini masih jauh dari target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang menargetkan tidak ada anak yang tidak bersekolah pada tahun 2030.


Merujuk Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, Dede mengingatkan bahwa Negara perlu melakukan berbagai upaya untuk menjamin setiap anak bangsa bisa bersekolah demi masa depan yang baik.


Secara tegas, Dede berharap permasalahan PPDB dapat segera diselesaikan sehingga negara dapat memenuhi kewajibannya sesuai amanat konstitusi UUD 1945. "Polemik PPDB harus segera diselesaikan, dibarengi dengan upaya Pemerintah untuk melakukan pemerataan fasilitas pendidikan dan meningkatkan jumlah sekolah serta kualitas gurunya. Tentunya hal ini juga akan berpengaruh jika ingin mempertahankan sistem PPDB zonasi," ungkap Politisi Fraksi Partai Demokrat ini.


Dirinya juga menegaskan Kemendikbudristek harus menggelar evaluasi total sistem PPDB. Laporan dari evaluasi harus diserahkan kepada Komisi X DPR pada akhir bulan Oktober 2023. Mengingat persoalan mengenai PPDB zonasi selalu muncul di setiap tahun ajaran baru sejak sistem tersebut diberlakukan. Tidak hanya evaluasi total, mewakili Komisi X DPR, ia meminta Kemendikbudristek mengubah sistem PPDB zonasi.


"Kalau setiap tahun permasalahan ini selalu terjadi, perlu ada perbaikan. Dan kami beri waktu sampai Oktober ini, jika masih belum ketemu solusi, maka ubah sistemnya," tegas Dede.


Mantan Wagub Jawa Barat ini memahami sistem zonasi pada PPDB bertujuan baik demi pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, Dede menilai sistem zonasi justru menimbulkan persoalan baru karena tidak dibarengi dengan pembangunan sekolah-sekolah negeri sesuai kebutuhan dan lokasi.


“Yang ada justru siswa-siswa terlalu memilih ke satu dua sekolah saja, sementara yang sekolah lain jadi sepi peminat. Seharusnya ini dipetakan. Termasuk juga kebutuhan guru yang kalau kita tarik ke belakang lagi masih menjadi PR besar dunia pendidikan kita,” ungkapnya.


Apalagi berdasarkan data Kemendikbudristek,permasalahan yang paling banyak dilaporkan dari disdik yakni terkait jumlah daya tampung atau kuota siswa. Artinya di sejumlah daerah memang ada ketimpangan antara jumlah sekolah dengan jumlah siswa yang mendaftar. “Belum lagi kalau kita berbicara soal dampak sistem agar sekolah mendahulukan siswa dengan batas usia tertentu,” lanjut Dede.


Menurut Dede, hal tersebut sebenarnya bertujuan baik agar anak-anak tidak putus sekolah, terutama untuk siswa yang usianya sudah melewati batas maksimal pendaftaran. Hanya saja peraturan ini justru membuat anak-anak menunda sekolah setahun sampai dua tahun demi masuk ke sekolah yang diinginkan.


“Untuk menyiasati itu kan sebenarnya kita sudah ada PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Mengajar) dan disamakan nilainya dulu. Jadi jangan memaksakan juga siswa-siswa yang sudah tua, yang sudah 18 tahun, 17 tahun dimasukkan ke SMK yang usianya rata-ratanya baru 16 tahun,” urainya.


“Dan pasti ada dampak psikologis sosialnya karena siswa yang lebih tua cenderung mendominasi siswa dengan usia di bawahnya,” sambung dia.


Maka, ia mengusulkan penerimaan siswa baru dikembalikan seperti sistem pendaftaran sekolah terdahulu, yakni seleksi berdasarkan nilai hasil ujian akhir sekolah seperti saat masih ada NEM (Nilai EBTANAS Murni). Namun sistem seperti ini diseleraskan dengan kebutuhan di masing-masing daerah.


"Maka kita akan minta segera membuat sistem baru yang lebih mengedepankan azas dan hak ke testing (ujian), misalnya bisa kembali kepada sistem ‘NEM’, namun testing-nya itu hanya buat pendaftar-pendaftar yang non-zonasi,” sebut Dede.


“Jadi sistem zonasinya masih tetap ada, ya zonasi bisa berkurang lah menjadi 20 persen, lalu ada sistem prestasi, itu non-akademik,” imbuhnya.


Selain pengembalian sistem, Pemerintah juga diminta mempertimbangkan untuk mengambil-alih tanggung jawab terhadap siswa-siswa yang tidak diterima di sekolah negeri. Seperti dengan memberi bantuan dana atau subsidi untuk siswa yang akhirnya terpaksa bersekolah di sekolah swasta, khususnya bagi anak dari keluarga kurang mampu.


“Karena banyak sekali keluarga yang terjebak pada masalah biaya pendidikan setelah anaknya tidak diterima di sekolah negeri. Jadi boleh bersekolah di swasta tapi dibiayai oleh negara, itu opsi yang lebih kuat lagi, tetapi nanti ujung-ujungnya adalah kemampuan anggaran negara harus siap," tutupnya. (ts/rdn)

Baca Juga:
Posting Komentar
Tutup Iklan