PPP tidak dapat melampaui ambang batas parlemen sebesar 4% dan dipastikan tidak lolos ke Senayan. Pada Pileg 2024, partai berlambang ka'bah itu hanya meraih 5.878.777 suara atau sebesar 3,87 persen. 

Imam Priono Ungkap Penyebab Perolehan Suara PPP Turun

Jika pada Pemilu kali ini PPP tidak lolos ke Senayan, maka ini adalah kali pertama PPP tidak lolos ke DPR sejak didirikan 5 Januari 1973. PPP pernah meraih kejayaannya pada Pemilu 1999.  Saat itu, PPP memperoleh 11.313.037 suara atau 10,72 persen. 

Setelah era kejayaannya di awal reformasi, perolehan suara PPP terus mengalami tren penurunan di tiap pemilu. Di Pemilu 2019, suara PPP hanya 4,52 persen yang membuatnya jadi partai paling buncit di parlemen.

Juru bicara Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Imam Priono menyebut penurunan suara PPP dari pemilu ke pemilu tidak lepas dari dinamika internal yang terjadi. Mulai dari kasus hukum yang menyeret beberapa petinggi partai sampai pada adanya dualisme kepemimpinan. 

"Hal ini menimbulkan presespsi kurang menguntungkan bagi partai dimata konstituen,” katanya, Jumat (22/3/2024).

Dalam rangka konsolidasi dan pembenahan, kata Imam Priono, dibawah kepemimpinan Plt Ketua Umum Mardiono, telah dilakukan upaya agar PPP bisa lebih menjadi pertai yang dikelola secara profesional. “Meskipun perubahan yang dilakukan untuk mengembalkikan kejayaan partai tentu perlu waktu,” katanya.

Dalam perjalanannya, sudah dua Ketua Umum PPP berurusan dengan KPK karena kasus korupsi. Pada 22 Mei 2014, Ketum PPP Suryadharma Ali ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji. Pada 11 Januari 2016, Suryadharma dihukum 6 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan serta uang pengganti Rp 1,821 miliar. 

Selanjutnya, Ketum PPP Romahurmuziy ditetapkan tersangka oleh KPK pada 16 Maret 2019. Dia menjadi tersangka kasus dugaan jual beli jabatan di Kementerian Agama level pusat dan daerah. Romi divonis dua tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada 20 Januari 2020.

PPP juga pernah menghadapi kemelut konflik internal. Konflik ini bermula ketika Ketum PPP saat itu, Suryadharma Ali, menyatakan dukungannnya kepada Prabowo Subianto yang menjadi capres 2014. Benih-benih perpecahan pun muncul.

Konflik internal PPP pecah. Elite PPP di bawah kepemimpinan Waketum Emron Pangkapi langsung menggoyang kepemimpinan Suryadharma. Konflik ini memakan korban Suryadharma memecat sejumlah elite PPP, antara lain Waketum Suharso Monoarfa, Sekjen Romahurmuziy, dan empat ketua DPW yang dituding jadi biang kerok 'pemberontakan'.

Pada 2 November 2014, Djan Faridz terpilih menjadi Ketum PPP menggantikan Suryadharma Ali. Padahal di satu sisi ada pula muktamar PPP di Surabaya yang memenangkan Rohamurmuziy sebagai Ketum PPP. 

Menkumham mengembalikan kepengurusan PPP ke hasil muktamar VII Bandung. Kemudian terjadi muktamar islah 2016. Namun Djan Faridz menggugat dan menang di tingkat PTUN. Namun di PTUN dan Kasasi MA, Djan faridz kalah.

Kendati demikian, pada 2018 Djan Faridz mengundurkan diri sebagai Ketum PPP. Djan resmi melayangkan surat pengunduran diri pada Rapat Pleno PPP Muktamar Jakarta yang digelar pada 29 Juli 2018. Posisi Djan Faridz kemudian digantikan oleh Humphrey Djemat. 

Keputusan tersebut diambil melalui pembahasan yang panjang dalam rapat pleno. Sampai pada akhirnya, PPP memutuskan untuk islah Desember 2019 saat kepemimpinan kubu Romi dipimpin oleh Suharso Monoarfa.(*)