Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) mengumumkan langkah baru terkait pengurusan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Mulai tanggal 1 Maret 2024, keikutsertaan dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menjadi salah satu persyaratan wajib untuk mengurus SKCK. Langkah ini akan diuji coba di enam wilayah Kepolisian Daerah (Polda) di Indonesia.

Foto ilustrasi: SKCK

Keenam wilayah yang akan menjalani uji coba ini meliputi Polda Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Bali, dan Papua Barat. Langkah ini mendapatkan apresiasi dari Wakil Ketua Komisi Kebijakan Umum Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Andy William Sinaga, yang menyatakan bahwa persyaratan BPJS dalam pengurusan SKCK sesuai dengan peraturan pemerintah.

Dalam rangka mendengarkan keluhan atau kebingungan masyarakat terkait kebijakan baru ini, DJSN memberi kesempatan warga mengadu. Wakil Ketua Komisi Kebijakan Umum Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Andy William Sinaga menegaskan, "Kami menyambut masukan dan mempercepat investigasi terhadap keluhan tersebut." 

Menurut Andy William Sinaga, langkah ini sesuai dengan aturan pemerintah yang menetapkan sanksi administratif bagi peserta yang menunggak iuran BPJS Kesehatan. Dalam konteks pelayanan publik, POLRI menegaskan bahwa pemegang SKCK seharusnya tidak menunggak iuran BPJS Kesehatan.

Uji coba ini juga diumumkan oleh BPJS Kesehatan melalui akun Instagram resminya, @bpjskesehatan_ri. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya berpartisipasi dalam program jaminan kesehatan nasional.

Dalam rangka mendengarkan keluhan atau kebingungan masyarakat terkait kebijakan baru ini, DJSN memberi kesempatan warga mengadu. Andy William Sinaga menegaskan, "Kami menyambut masukan dan mempercepat investigasi terhadap keluhan tersebut."

DJSN juga menegaskan bahwa program jaminan kesehatan nasional adalah bagian dari amanah konstitusi berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28A dan Undang-Undang 40 tahun 2014 tentang sistem jaminan sosial nasional. Mulai 1 Januari 2019, seluruh warga negara diwajibkan mengikuti program Jaminan Kesehatan Nasional.

Untuk masyarakat yang tidak mampu membayar iuran BPJS, pemerintah menyediakan program penerima bantuan iuran atau PBI. "Pemerintah telah menyediakan program penerima bantuan iuran bagi masyarakat yang kurang mampu, yang dapat didaftarkan melalui kelurahan atau RT/RW setempat," kata Andy William Sinaga menambahkan.

Dukungan dari DJSN terhadap kebijakan ini dianggap sebagai langkah penting dalam menjalankan amanah konstitusi dan undang-undang terkait jaminan sosial nasional. Sementara Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch, menyambut baik langkah ini dengan menyatakan bahwa ini merupakan upaya negara untuk menjamin kesejahteraan semua rakyat.

"Saya malah mendorong DJSN dalam proses menerima pengaduan masyarakat ini mampu mencari solusi terkait dengan peserta yang selama ini terdaftar dalam PBI namun diputus sepihak karena beberapa alasan salah satunya karena selama setahun tidak digunakan," kata Timboel Siregar.

Baik Timboel maupun Andy William Sinaga meminta instansi terkait untuk melakukan sosialisasi sebelum menerapkan kebijakan terkait persyaratan BPJS untuk berbagai layanan administrasi negara, dengan tujuan mengurangi kebingungan dan meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya partisipasi dalam program jaminan kesehatan nasional.

Dalam mengawal implementasi kebijakan pemerintah terkait kepesertaan BPJS Kesehatan untuk mendapatkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK), BPJS Watch memberikan tanggapannya. Timboel Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch, menyatakan bahwa langkah ini sejalan dengan semangat Jaminan Kesehatan Nasional yang telah dicanangkan selama lebih dari satu dekade.

"Sudah saatnya seluruh rakyat Indonesia terjamin akses kesehatannya. Ini merupakan implementasi dari semangat undang-undang sistem sosial nasional yang mewajibkan seluruh rakyat menjadi peserta JKN," ujar Timboel.

Meski demikian, Timboel menyoroti beberapa tantangan yang masih dihadapi. Salah satunya adalah jumlah peserta yang belum aktif atau bahkan belum terdaftar. "Masih ada sekitar 50 juta masyarakat yang belum terdaftar atau statusnya nonaktif. Ini menjadi pertimbangan utama agar seluruh rakyat benar-benar terjamin," kata Timboel menambahkan. 

Selain pengurusan SKCK, sejumlah pelayanan publik lebih dulu mensyaratkan kepesertaan BPJS, di antaranya jual beli tanah dan mengurus sertifikat di Badan Pertanahan Nasional (BPN), pengurusan paspor di kantor Imigrasi, pengurusan dokumen haji dan umroh di Kementerian Agama, hingga mengurus Kredit Usaha Rakyat (KUR) di perbankan. 

"Kita memahami bahwa kepolisian memiliki pendapatan dari beberapa layanan publik, termasuk SKCK. Namun, penegakan sanksi terhadap tidak dapat layanan publik perlu dikaji lebih lanjut agar tidak memberatkan masyarakat," ujarnya.

Selain itu, Timboel dalam perbincangan program siaran 'Jakarta Pagi Ini' di 91,2FM Pro1 RRI Jakarta pada Jumat (1/3/2024) menyoroti tunggakan iuran BPJS Kesehatan, terutama dari kalangan masyarakat miskin dan mandiri. Dia menegaskan perlunya solusi dari pemerintah untuk mengaktifkan kembali peserta yang dinonaktifkan serta memberikan kemudahan bagi mereka yang memiliki tunggakan iuran.

"Kebijakan diskon dan program Rehab menjadi solusi yang perlu dipertimbangkan agar semua rakyat dapat dijamin akses kesehatannya," ucapnya.

Menurutnya, aturan wajib peserta BPJS itu bisa dipahami karena tujuannya adalah bagaimana menjamin semua rakyat punya akses pada layanan kesehatan.

Dari segi hukum, katanya, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) telah menetapkan kewajiban bagi setiap warga negara untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan.

Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan juga mengatur bahwa mulai 1 Januari 2019 semua warga negara wajib menjadi peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Tidak hanya itu, Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 juga memberlakukan sanksi bagi mereka yang tidak terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan, yang berarti mereka tidak akan mendapatkan layanan publik yang diberikan.(*)