JAKARTA, PEKA.- Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkapkan, rata-rata vonis kasus korupsi sepanjang tahun 2015 terendah dalam tiga tahun terakhir, bahkan ada 68 yang divonis bebas, sehingga tidak menimbulkan efek jera. Sementara itu, MA menyatakan tidak melihat ada kejanggalan dalam putusan yang rendah tersebut.
Ilustrassi Karikatur Koruptor Bebas
Hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch ICW terhadap putusan pengadilan tindak pidana korupsi Tipikor menunjukkan vonis bebas terhadap terdakwa kasus korupsi meningkat menjadi 68 orang pada 2015. Tahun sebelumnya, 2014 terdakwa kasus korupsi yang divonis bebas 28 orang. Sementara pada 2013 mencapai 16 orang.
ICW memantau 524 perkara dan 564 terdakwa kasus korupsi yang ditangani Polri, KPK dan Kejaksaan pada 2015 lalu, sekitar 71 persen divonis bersalah.
Peneliti ICW Aradilla Caesar mengatakan selain vonis bebas, rata-rata putusan hakim untuk terdakwa kasus korupsi juga rendah yaitu dua tahun dua bulan.
Arad menyatakan tuntutan jaksa yang ringan dan tidak adanya pedoman penanganan kasus korupsi bagi para hakim dari MA menjadi penyebab rendahnya putusan hakim pengadilan Tipikor itu.
“Jaksa masih menuntut dengan tuntutan yang sangat ringan, rata-rata dituntut 1 tahun 6 bulan. Dari awal tuntutan itu ringan, sehingga pengadilan tipikor juga melakukan memutuskan cukup ringan, kedua MA ini tidak memiliki pedoman pemidanaan, jadi ketika dihadapkan pada satu kasus dan diputuskan bersalah Hakim bisanya menjatuhkan hukuman dengan hati nurani tidak ada hitungan yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga ada disparitas putusan. Pakai rasa-rasa hakim saja, jadi tidak ada batasnya,” jelas Arad.
Tidak adanya pedoman itu menurut, Arad, menyebabkan perbedaan vonis terhadap tiap terdakwa kasus korupsi juga tinggi, untuk kasus dengan kerugian negara yang sama hukumannya bisa berbeda jauh. Tak heran jika untuk kasus dengan tuntutan hukuman yang tinggi pun, vonisnya bisa sangat rendah, jelas Arad.
Sebagai contoh, kasus mantan Bupati Seluma, Murman Effendi yang divonis bebas oleh PN Bengkulu, padahal jaksa menuntut tujuh tahun penjara. Sementara itu, terdakwa kasus pencucian uang dalam proyek Migas di Batam, Deki Bermana dibebaskan hakim PN Pekanbaru, padahal jaksa menuntut 15 tahun.
Sementara itu, Juru bicara MA Suhadi mempertanyakan kasus yang dikaji oleh ICW, dan mengaku banyak kasus korupsi yang justru dinaikkan hukumannya oleh MA. Dia juga menilai para hakim di pengadilan tipikor memiliki pemahaman dalam menangani kasus korupsi.
”Hakim ad hoc itu memiliki pengalaman lima tahun lebih masa tugasnya, jadi pengalamanya sudah banyak sejak lahirnya UU no 46 tahun 2009, masalah berat ringan hukuman itu tergantung besar kecil volume korupsinya, besar kecilnya masalah kasusnya yang terjadi. Tak bisa dikatakan kasusnya itu lebih baik atau lebih buruk dari tahun lampau tergantung kasusnya,” jelas Suhadi.
Suhadi menyatakan selama ini hakim di tipikor telah menjalankan tugas sesuai dengan undang-undang, dan jika putusan hakim yang rendah itu juga tergantung pada dakwaan dan pembuktian di pengadilan, kalau menurut hakim tak kuat bukti telah melakukan korupsi, maka terdakwa bisa bebas.
Selain itu, Arad menjelaskan pasal 2 dan 3 dalam UU No 31 tahun 1999 tentang pemberantasan korupsi yang mencantumkan vonis rendah bagi para terdakwa kasus korupsi dengan hukuman minimal satu tahun, menjadi salah satu penyebabnya. Untuk itu, ICW meminta agar aturan itu direvisi, karena hukuman bagi penyelenggara negara yang melakukan korupsi seharusnya lebih berat, karena menyalahgunakan kekuasaannya.
Sebelumnya, Transparency International menyatakan pemberantasan korupsi di Indonesia membaik, terbukti dengan naiknya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2015 sebanyak dua poin, yang membuat posisi Indonesia naik ke peringkat 15 regional dan 88 dunia.
Dalam Pasal 2: Setiap orang yang secara sengaja melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 milliar.
Pasal 3 : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padania karena jabatan atau keududkan yang dapat merugikan negara, dipidana dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 milliar.#PR