Breaking News
---

Teroris Bukan,Gengster Bukan.Siapa Mereka?

KEPALA Divisi Humas Mabes Polri Irjen Pol Iskandar Hasan memastikan para pelaku penyerangan tiga pos polisi di Kota Bandung tidak terkait dengan jaringan teroris.   ”Bukan, tidak terkait teror,”ujar Iskandar kepada SINDO tadi malam. Kepala Bidang Penerangan Umum, Mabes Polri Kombes Pol Marwoto Soeto menduga penyerangan dilakukan sekelompok pemuda. 

Namun, belum diketahui apakah mereka tergabungdalamgengmotoratautidak Polisi juga bungkam saat ditanya kemungkinan penyerangan ini dilakukan oleh oknum institusi tertentu. Penyerangan tiga pos polisi di Bandung ini menambah panjang daftar kasus penyerangan terhadap penegak hukum berseragam cokelat- cokelat ini.  Dalam waktu kurang dari dua bulan, tercatat adanya enam kali penyerangan pos polisi.

Sebelum di Bandung,insiden penyerangan pos polisi paling parah terjadi di Buol yang menewaskan tujuh anggota masyarakat.Adapun di Mapolsek Hamparan Perak yang menewaskan tiga personel kepolisian, penyerangan teridentifikasi dilakukan jaringan teroris. Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sujito menilai, perilaku masyarakat yang cenderung berani dan anarkistis, khususnya terhadap polisi, sebagai bentuk akumulasi perubahan sosial yang tidak terkendali.Kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat tidak diikuti kebijakan yang akomodatif sehingga muncul kemarahan dan kekecewaan.  

”Polisi sering menjadi ajang pelampiasan karena memang yang berhadapan langsung di masyarakat dan polisi dianggap sebagai pihak yang mengamankan policy tersebut,” ungkapnya. Polisi juga sering kali menjadi pelampiasan karena dianggap tidak berjalan sesuai dengan tugas dan fungsinya.Menurut dia, di tengah kondisi kesenjangan yang terlalu jauh, polisi malah sering menjadi pelaku pelanggaran hukum. 

”Itu yang kemudian memancing masyarakat untuk nekat.Karena di satu sisi ada tekanan, di sisi lain mendapat kekecewaan dari penegak hukum,”jelasnya. Sementara pengamat kepolisian Universitas Indonesia (UI) Bambang Widodo Umar menilai,seringnya aksi penyerangan terhadap pos polisi karena masyarakat mulai berani dan tidak lagi menghormati lembaga kepolisian.  

Kondisi ini terjadi karena selama ini pola perilaku polisi belum menunjukkan perubahan yang signifikan, yakni sebagai pengayom,pelindung,dan pelayan masyarakat. Kondisi ini diperparah dengan adanya kesenjangan ekonomi di masyarakat sehingga memicu sentimen sosial dan keresahan dalam masyarakat yang kemudian bertemu dengan perilaku polisi yang demikian sehingga kemudian berakibat pada terjadinya tindakantindakan yang menyimpang. 

Kriminolog dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Yesmil Anwar memandang saat ini masyarakat sudah tidak lagi memandang kepolisian sebagai lembaga yang berwibawa.Sebaliknya, saat ini Polri dinilai sebagai lembaga yang lemah dari berbagai sisi.  

”Dengan kondisi seperti sekarang ini, masyarakat tidak lagi segan menyerang markas atau pos polisi bila ada ketidakpuasan atas sikap atau kinerja polisi.Saya menyebut fenomena ini sebagai ‘polisi sudah menjadi samsak’,”ujarnya. Menurut Yesmil, selain disebabkan perilaku segelintir oknum yang merusak nama baik korps, kondisi seperti ini juga disebabkan keadaan di luar Polri. Masyarakat sudah sangat jengah dengan kehidupannya. Frustrasi sosial dan kekecewaan terhadap kinerja pemerintah berdampak domino dan membutuhkan pelampiasan segera. 

”Sayangnya, dibandingkan dengan lembaga hukum lainnya, polisi paling lemah dan mudah diinterupsi. Luapan kekesalam masyarakat pun akhirnya ditumpahkan pada polisi,”terang Yesmil.  Tingginya agresivitas masyarakat yang dengan mudahnya melakukan aksi-aksi brutal dan anarkistis menunjukkan lemahnya wibawa penegak hukum secara keseluruhan dan lemahnya kesadaran masyarakat dalam memahami aturan hukum. Yesmil mengajukan tiga solusi teknis untuk persoalan kompleks ini.Pertama,mengaktifkan kembali polisi sebagai mitra masyarakat, seperti halnya Polisi Lingkungan Warga (Polingga). 

Hilangkan tindakan represif dan ganti dengan citra yang benar-benar mengayomi masyarakat.  Kedua, pembenahan segera perilaku aparat yang berada di lini paling depan dalam berinteraksi langsung dengan masyarakat sebagai etalase lembaga seperti petugas lalu lintas dan lainnya. Ini agar stigma negatif tentang polisi di masyarakat berangsur hilang.Dan ketiga, memaksimalkan kinerja aparat kepolisian sendiri. (yugi prasetyo/ sucipto/ agung bakti sarasa) 
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/356544/
Baca Juga:
Posting Komentar
Tutup Iklan
 harga iklan