JAKARTA --PEKA-. Media sosial merupakan elemen penting  untuk memenangkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada Desember 2015. Maka itu, tim media sosial
calon kepala daerah harus memahami apa yang tidak boleh dilakukan di media sosial, seperti fitnah dan kampanye hitam.
Direktur Eksekutif INSPIRE, Marbawi mengatakan, kampanye kotor didorong oleh berbagai motivasi. "Pertama, karena faktor psikologis-politis," ujarnya dalam diskusi acara Komunikonten di Universitas Paramadina, Jakarta (27/10).
Ia menjelaskan, informasi politik dan publik semakin banyak dibahas di media baru seperti media sosial dan lain sebagainya, meningkatkan preferensi psikologis pemilih terhadap figur kandidat tertentu dengan segala latar belakangnya.
Pemilu atau pilkada yang berlangsung pasca reformasi menurutnya lebih banyak didorong oleh figur yang menciptakan 'lovers' dan 'haters'-nya sendiri. “Kedua-duanya buta, keyakinan religius, ras dan suku, kelas sosial, dan skandal kandidat menjadi objek utama kampanye hitam yang bebas di media sosial,” ujar pria asal Bangka Belitung ini.
Sementara, yang kedua adalah faktor sosiologis-politis. Hal ini menuju kepada kelompok-kelompok politik yang gagal bertarung dengan elegan melalui program yang diusung, kelompok korban kebijakan diskriminatif, kelompok intoleran, rendahnya kepercayaan pada sistem demokrasi juga kembali kepada isu-isu primordial dan mengeksploitasinya untuk pemenangan politik.
"Hasil akhir dari faktor ini sangat ditentukan oleh pola-pola demografis di daerah pemilihan maupun dan kesiapan negara dalam mengantisipasi konflik sosial menjelang dan usai pemilu," ujarnya.
Yang ketiga, ia melanjutkan adalah murni karena faktor ekonomi-politik. Faktor ini terkesan rasional, kampanye didorong oleh motif-motif keuntungan ekonomi dari pertarungan politik yang sedang berlangsung. Kekuatan ekonomi ini dapat juga menggunakan faktor pertama dan kedua demi menyelamatkan bisnis.
“Di sini pengguna medsos harus bersatu melawannya”, kata Marbawi.#ROL.