Jumlah calon kepala daerah yang akan bertarung di Pilkada 2020 tidak sedikit yang merupakan incumbent atau petahana. Status itu jelas dapat memicu potensi penyalahgunaan kekuasaan terutama di tengah situasi pandemi COVID-19.

Pilkada

Sebab, para calon petahana dapat memanfaatkan bantuan sosial terhadap warga yang terdampak COVID-19 untuk mendapat dukungan suara.

"Maka ekspektasinya, akan banyak pejabat publik, entah itu membantu masyarakat dan sebagainya. Jadi, pilkada memberi insentif elektoral. Tentu saja tujuannya biar masyarakat memilih mereka," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik saat memberikan pemaparan di Webinar Taruna Merah Putih bertajuk 'Pilkada di tengah Pandemi COVID-19', Minggu (9/8)

Maka dari itu, Burhan meminta KPU dan Bawaslu selalu penyelenggara pemilu bisa bersikap tegas agar tahapan Pilkada di tengah pandemi COVID-19 justru menguntungkan calon incumbent.

"Semua tahapan tadi tak boleh menguntungkan incumbent. Sebab, jika itu diuntungkan, ada moral hazard (risiko moral) mereka memanfaatkan bantuan, maka KPU Bawaslu harus tegas. Karena situasi sekarang juga sudah menguntungkan incumbent," tutur Burhan.

Burhan menjelaskan, berdasarkan hasil surveinya sebenarnya 63,1 persen masyarakat menolak Pilkada digelar desember 2020. Hanya 34,3 persen warga yang setuju Pilkada tetap digelar di tengah pandemi.

Namun, karena KPU, DPR dan pemerintah sudah sepakat Pilkada tetap digelar 9 Desember, Burhan mengingatkan, protokol kesehatan menjadi penting dipatuhi.

Mengingat Inpres nomor 6 Tahun 2020 soal penegakan disiplin dan hukum terkait COVID-19 sudah terbit.

"Intinya, Pilkada tetap ingin dilaksanakan tahun ini. Dengan catatan pemerintah DPR dan penyelenggara pemilu harus memiliki sinyal solid agar bisa memitigasi dengan protokol kesehatan yang ketat. Tetapi, jangan lupa ketika ada yang tidak disiplin sanksi juga diterapkan," ujarnya.

"Perlu ada penyesuaian-penyesuaian terkait dengan tahapan-tahapan kampanye maupun hingga pemungutan suara," tutup dia.