Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) tidak sependapat, jika pemerintah akan membuka sekolah tatap muka di wilayah zona kuning.
Pelajar dalam Kelas

Ketua PGRI Didi Suprijadi menyampaikan, kebijakan ini akan berdampak murid berpotensi terpapar Covid-19.
Menurutnya, pemberlakuan belajar tatap muka di zona hijau saja menimbulkan kasus baru di wilayah itu. Menurut Didi zona hijau saja tidak menjadi jaminan bebas sama sekali dari paparan Covid-19, apalagi zona kuning.
Sehingga PGRI meminta agar pemerintah khususnya Kemendikbud, memikirkan ulang kebijakan pembelajaran di zona kuning.
"Oleh sebab itu bagi kami, harus dipikirkan ulang oleh Kemendikbud untuk membuka sekolah, terutama untuk di zona kuning. Karena hal-hal ini akan berdampak pada anak-anak, masyarakat, dan guru," tutur Didi kepada Kompas TV, Sabtu (8/8/2020).
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Sekjen FSGI Heru Purnomo dalam perbicangan dengan Kompas TV di Program Kompas Siang, Sabtu (8/8/2020).
FSGI tak ingin ada klaster baru dengan dibukanya sekolah di zona kuning. Jika memang berniat dibuka, maka perlu ada jaminan perlindungan peserta didik dan pendidik dari sekolah agar terhindar dari ancaman Covid-19.
Namun yang diketahui FSGI, sekolah tidak mampu untuk memberikan jaminan tersebut. Hal ini berdasarkan survei internal yang dilakukan FSGI di 34 provinsi.
"Sebulan yang lalu kami melakukan survei di 34 provinsi, dengan responden guru dan kepala sekolah, bahwa anggaran sekolah tidak bisa untuk melakukan protokol kesehatan," ungkap Heru.
Karena menurutnya, anggaran yang dimiliki sekolah hanyalah anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Jika dialokasikan untuk protokol kesehatan, tidak juga mencukupi.
"Apalagi di sekolah yang ada di daerah-daerah, di pelosok yang sebagian besar orang tua kesulitan untuk membeli masker," katanya.
Kemendikbud Izinkan Sekolah di Zona Kuning
Setelah zona hijau, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengizinkan pembelajaran tatap muka di sekolah pada zona kuning.
Namun pembukaan sekolah di zona kuning harus dipenuhi beberapa syarat jika pihak sekolah ingin membuka pembelajaran tatap muka.
Seperti kesediaan pemerintah daerah dan sekolah untuk melaksanakan belajar tatap muka serta kesediaan komite sekolah untuk mengizinkan anak belajar di kelas.
"Kalau orang tidak memperkenankan itu ada hak prerogratif orang tua. Jadi ini yang harus ditekankan. Ini harus dengan persetujuan bersama," ujar Nadiem dalam jumpa pers, Jumat (7/8/2020).
Nadiem menambahkan, selain kesediaan Pemda, sekolah dan orang tua murid nantinya ruang kelas pedidikan dasar hingga atas hanya diisi maksimal 50 persen atau 18 siswa/siswi.
Kemudian bangku ruang kelas juga diberi jarak sebagai pendoman protokol kesehatan. Untuk kelas Sekolah Luar Biasa dan pendidikan anak usia dini hanya boleh diisi oleh 5 peserta didik.
Perilaku lainnya yang wajib dilakukan adalah menggunakan masker, cuci tangan dengan sabun, memakai hand sanitizer, jaga jarak 1,5 meter, dan tidak melakukan kontak fisik.
Adapun aktivitas sosialisasi di sekolah seperti berkumpul di kantin, olahraga, ekstrakurikuler, dan kegiatan-kegiatan lainnya dilarang untuk dilakukan.
"Jadi walaupun pembelajaran tatap muka, tapi tidak ada aktivitas-aktivitas sosialisasi atau perkumpulan. Itu tidak diperkenankan di sekolah," ujar Nadiem.***