Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Institut Teknologi Bandung (ITB) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melakukan penelitian yang menyebut bahwa akan ada potensi tsunami 20 meter di Selatan Pulau Jawa. Potensi tsunami itu disebabkan oleh gempa megathrust akibat pergerakan lempeng tektonik di wilayah Indo-Australia dengan Eurasia.

Hasil riset soal potensi tsunami 20 meter ini membuat masyarakat Indonesia panik, khususnya bagi warga Banten. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati menjelaskan bahwa masyarakat belum sepenuhnya memahami hasil riset tersebut. Potensi tsunami 20 meter, kata dia, merupakan skenario terburuk yang akan terjadi.

Tsunami

"Hasil penelitian yang dilakukan BMKG, ITB dan KKP itu mengungkapkan bahwa ada zona yang selama ini terkunci dan belum lepas. Sehingga energi gempa itu tertahan. Nah zona itu ada di Selatan Jawa Barat dan Selatan Jawa Timur. Jika kuncinya lepas bareng-bareng, maka energi gempa yang diakibatkan bisa mencapai magnitudo 9 MW dan menimbulkan tsunami 20 meter," kata Dwikorita, Sabtu (26/9).

Dwikorita meminta masyarakat untuk benar-benar memahami pernyataannya. Gempa dengan magnitudo 9 MW dan tsunami 20 meter merupakan kemungkinan terburuk yang akan terjadi, yakni jika 'kunci' di dua zona itu terlepas berbarengan.

Dia pun membeberkan alasan BMKG mengumumkan skenario terburuk itu ke masyarakat. Tujuannya agar semua pihak bisa semaksimal mungkin mempersiapkan mitigasi bencana. Sehingga bisa meminimalisir jumlah korban jiwa maupun kerugian materi.

"Kita mengumumkan skenario terburuk bukan untuk membuat panik masyarakat, namun agar kita bisa bersama-sama semaksimal mungkin mencegah dampak yang akan terjadi dari bencana itu," ujarnya.

Untuk kepastian apakah gempa megathrust dengan magnitudo 9 MW dan tsunami 20 meter akan terjadi, Dwikorita menegaskan bahwa dia maupun BMKG tidak tahu. Menurutnya, perihal kepastian suatu bencana alam hanyalah Tuhan yang tahu. Sehingga, ketidakpastian itu perlu diantisipasi, yakni dengan membuat persiapan maksimal.

"Jadi kalau ditanya 'apakah bencana itu akan terjadi?' ya saya tidak tahu. Tidak ada yang bisa mendahului Tuhan, tapi kan manusia bisa menghitung. Kita menghitung skenario dan dampak terburuknya," kata Dwikorita.

Selain itu, kata dia, makna dari potensi tsunami 20 meter bukan berarti seluruh Selatan Pulau Jawa akan tergulung tsunami. Ia menjelaskan, hanya pantai yang ketinggiannya di bawah 20 meter saja yang akan berpotensi terkena tsunami. Sementara itu, pantai yang ketinggiannya di atas 20 meter akan aman.

"Ketinggian suatu lahan pantai kan tidak seragam. Ada yang tinggi dan rendah. Jadi jangan membayangkan seluruh Banten akan tergulung tsunami 20 meter. Hanya pantai yang topografinya di bawah 20 meter saja yang berpotensi terkena tsunami," tegasnya.

"Ingat, berpotensi loh. Berpotensi belum tentu terjadi," tambahnya.

Oleh karena itu, kata dia, skenario terburuk yang diumumkan harus disikapi sebaik mungkin. Ia meminta pemerintah dan masyarakat berkaca pada tsunami Banten yang terjadi pada 22 Desember 2018. Menurutnya, tidak boleh ada lagi acara yang diselenggarakan di malam hari dan di dekat pantai. Maksimal 500 meter dari bibir pantai. Selain itu, pencahayaan dan tata letak suatu acara perlu diperhatikan. Izin mendirikan hotel dan bangunan di daerah yang dengan pantai juga harus dipertimbangkan.

"Itu kan kejadiannya malam. Nah terus panggungnya itu kan latarnya pantai, penonton memang nonton band menghadap pantai. Nah tapi kan lampu tidak menyorot ke pantai, jadinya gelap. Sehingga tidak kelihatan kalau ada tsunami," ujarnya.

Selain itu, pemerintah daerah perlu membangun jalur evakuasi serta gedung bertingkat yang besar di dataran tinggi. Diharapkan, gedung ini mampu untuk mengevakuasi warga. Selain itu, skenario terburuk ini merupakan cara BMKG untuk mengingatkan agar tidak ada lagi permukiman padat yang berada di dekat pantai yang berada di dataran rendah.

"Jangan sampai di situ ada permukiman padat penduduk, selain susah untuk evakuasi, mereka juga berpotensi terkena tsunami. Jadi saya harap pemerintah bisa menyiapkan sarana dan prasarana evakuasi dengan matang," ujarnya.

"Kita ingin membangun budaya siap. Lihat Bali dan Hawai. Mereka juga wilayahnya rawan gempa, tapi sudah dipersiapkan dengan baik mitigasinya," tutupnya.***