Kekhawatiran munculnya kluster COVID-19 dalam Pilkada Serentak 2020 semakin menguat. Beberapa tahapan berpotensi terjadi penyebaran Corona. Penyelenggara Pemilu harus dapat mengantisipasinya. Terutama, pada tanggal 23 hingga 24 September 2020 mendatang.

"Ada kekhawatiran akan adanya ledakan klaster COVID-19. Ini diprediksi terjadi pada 23 dan 24 September 2020. Pada tanggal itu, para calon kepala daerah akan mengikuti penetapan pasangan calon dan pengundian nomor urut. Apabila tidak diantisipasi, ini akan berpotensi terjadi kerumunan massa," kata Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia di Jakarta, Rabu kemarin,( 16/9).

Menurutnya, pemerintah sudah memutuskan Pilkada Serentak 2020 harus tetap berjalan. Namun, pelaksanaannya harus mematuhi protokol kesehatan yang ketat. Dia menyatakan dalam kondisi pandemi, sempat timbul keraguan munculnya kluster-kluster baru pada proses dan tahapan Pilkada Serentak 2020.

Pilkada

Awalnya tahapan pencocokan dan penelitian (coklit) pada 15 Juli hingga 13 Agustus 2020. Banyak pihak khawatirkan akan menjadi sumber ledakan penularan COVID-19. Namun, prediksi tersebut tidak terjadi.

Selanjutnya, pada tahapan pendaftaran pasangan calon pada 4 hingga 6 September 2020. Diprediksi yang sama juga muncul. Namun, belum menunjukkan tanda-tanda adanya kluster baru pilkada.

"Kita masih harus menunggu sampai 14 hari berlalu, yang memang tinggal beberapa hari lagi dari saat ini. Jika masa itu berlalu dengan aman. Artinya tinggal mengantisipasi tahapan berikutnya," imbuh Doli.

Tahapan yang diprediksi akan terjadi pada 23 hingga 24 September 2020, yaitu para calon kepala daerah akan mengikuti penetapan pasangan calon dan pengundian nomor urut. "Ada potensi terjadi kerumunan massa. Ini harus betul-betuk diantisipasi," lanjutnya.

Tahapan lainnya pada 26 September hingga 5 Desember 2020 adalah masa kampanye. KPU sudah membuat aturan yang ketat tentang bentuk kampanye yang disesuaikan dengan protokol kesehatan. "Waktu kampanye juga dikhawatirkan terjadi klaster baru COVID-19," tukasnya.

Doli menyebut tahapan kritis lainnya diprediksi akan terjadi pada 9 Desember 2020. Yaitu saat pemilih akan memberikan suara di sejumlah tempat pemungutan suara (TPS) di berbagai daerah.

“Kita harus disiplin, hati-hati, dan patuh protokol kesehatan. Sudah banyak paslon yang diberi peringatan oleh penyelenggara pemilu. Jika terbukti tidak disiplin, sanksi tegas harus diberikan," urainya.

Doli menambahkan sanksi yang paling berat dapat dimulai dari diskualifikasi paslon hingga penundaan pelantikan selama 6 bulan. Ini bagi kepala daerah pemenang yang melakukan pelanggaran pilkada.

Hal senada diungkapkan anggota Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin. Politisi Partai Golkar ini menilai diperlukan sikap adaptif terkait penyesuaian tahapan Pilkada Serentak 2020 dengan protokol kesehatan.

Menurutnya, tidak mungkin Pilkada 2020 ditunda hingga Indonesia benar-benar dinyatakan bebas COVID-19. "Saya memahami dan mengerti kekhawatiran publik Pilkada 2020 berpotensi menjadi kluster baru. Namun, proses demokrasi juga harus tetap berjalan guna memastikan jalannya roda pemerintahan," jelas Zulfikar di Jakarta, Rabu (16/9).

Dia mengatakan, keberlangsungan Pilkada juga mendesak. Karena dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan secara jelas masa jabatan kepala/wakil kepala daerah hanya 5 (lima) tahun sejak pelantikan.

"Selain itu, UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah juga menegaskan pemilihan kepala dan wakil kepala daerah harus berlangsung 5 tahun sekali," ucapnya.

Dia menyebut ada lima solusi untuk mempertemukan titik keseimbangan demokrasi dan keselamatan warga negara selama pandemi COVID-19. Pertama adalah penyadaran. Semua pihak terutama Pemerintah dan penyelenggara secara masif dan maksimal menyadarkan masyarakat tentang bahayanya COVID-19.

"Kedua, ketersediaan anggaran. Ini penting untuk mencapai efektivitas dan efisiensi kinerja penyelenggara. Anggaran Pilkada 2020 harus segera terpenuhi semua. Terlebih jika semangat alokasinya menuju pada penyelamatan nyawa warga negara," tegasnya.

Yang ketiga, peralatan dan pemenuhan kebutuhan Alat Perlindungan Diri (APD) selama Pilkada 2020 harus berbasis pemilih dan Tempat Pemungutan Suara (TPS). Keempat adalah penegakan hukum. Semua pihak perlu bersikap tegas tanpa kompromi jika terjadi pelanggaran protokol kesehatan.

Misalnya, Pasal 11 PKPU Nomor 6 Tahun 2020 menegaskan setiap pelanggar protokol pencegahan dan pengendalian COVID-19 dapat ditegur ataupun dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Artinya apabila paslon, Penyelenggara, Pemilih, dan warga tidak menghiraukan protokol kesehatan, Indonesia tidak kekurangan mekanisme sanksi yang bisa diberlakukan. Indonesia memiliki UU Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan," tuturnya.

Sedangkan yang kelima adalah Force Majeure. Dimana konstruksi UU Nomor 10 Tahun 2016 memberi ruang adanya pemilihan lanjutan dan pemilihan susulan.

"Jika di suatu daerah benar-benar berstatus risiko tinggi secara cepat dan meluas, maka opsi penundaan lokal patut dipertimbangkan. Intinya, Pilkada 2020 penting untuk dilaksanakan dan tidak perlu ditunda lagi. Bukan karena abai terhadap kesehatan. Namun, karena ada aspek kepastian hukum dan pemerintahan yang harus dipenuhi," terangnya. ***Ts